Prolog

104 15 11
                                    

"Eh lihat deh, itu orang apa beruang? Gendut amat!"

"Nggak heran sih, lihat aja belanjaannya segudang gitu. Gimana badan nggak melar coba?"

"Dia nggak ada niatan nurunin berat badan ya, nggak malu apa mirip paus berjalan gitu?!"

"Belum lagi jerawatnya bertebaran dimana-mana, udah kayak good time aja. Haha."

Sindiran demi sindiran itu menyusup masuk ke gendang telingaku. Aku mengedarkan pandangan, melihat kumpulan cewek yang melontarkan kalimat-kalimat tadi. Mereka terkikik geli, seolah body shaming yang mereka lakukan adalah sesuatu yang lucu. Ya, mungkin mereka memang tidak bermaksud menghina, dan malah menganggap hal itu hanya sebatas candaan saja. Tapi mereka lupa bahwa tidak semua orang dapat menerima perkataan seperti apa yang mereka harapkan. Bisa saja perkataan yang mereka anggap lelucon malah berefek negatif bagi korban. Lagi pula aku heran, kenapa sih orang-orang suka sekali menghakimi seseorang melalui fisiknya, padahal mereka tahu bahwa tidak ada orang yang sempurna. Huh, menyebalkan. Jika saja tidak lupa dengan adab menasehati, mugkin detik ini aku sudah berjalan menghampiri mereka lalu memperingati agar introspeksi diri. Tapi sudahlah, kalau aku melakukan itu, lalu apa bedanya aku dengan mereka yang mempermalukan orang di depan umum. Aku berbalik, memutuskan untuk pergi. Hingga akhirnya...

Brakk...

Beraneka macam snack berhamburan di atas tanah.

"Aduh maaf mbak, aku nggak lihat tadi." Ternyata dia, gadis berseragam putih abu-abu yang tadi menjadi bahan ejekan. Kepalanya tertunduk dengan kedua tangan ia katupkan di depan dada.

Aku tersenyum meskipun tadi sempat terperanjat karena tiba-tiba ditabrak orang. Lalu Aku pun berjongkok, memunguti satu per satu snack milik anak SMA itu.

"Eh nggak usah mbak, biar aku aja" Dia ikut berjongkok dan berusaha menghalangi gerakan tanganku.

"Udah nggak apa-apa," jawabku sembari memasukkan makanan siap saji itu ke dalam plastik. "Nih belanjaanmu." Aku bangkit lalu menyerahkan kantung berwarna putih itu ke pemiliknya.

"Makasih mbak," ungkapnya dengan senyum tulus menyambut uluran tanganku.

"Tapi itu nggak gratis loh!"

Seberkas kernyitan muncul di keningnya, "maksudnya?"

"Kata orang, nggak ada yang gratis di dunia ini. Jadi aku minta di traktir minum jus sebagai ucapan terima kasih, boleh dong ya?"

Gadis itu diam. Mungkin saja dia sedang berpikir, nih orang pamrih banget sih. Tapi pada akhirnya ia tersnyum dan bersedia. Maka disinilah kami, di sebuah cafe yang biasanya menjadi tempat nongkrong anak muda. Tempatnya enak, harga makanan dan minumannya pun terjangkau untuk anak sekolahan ataupun kuliahan.

"Nama kamu siapa?" tanyaku memulai obrolan setelah memesan minuman.

"Luna," jawab gadis itu sekenanya.

"Nama yang cantik, secantik orangnya."

"Hah?" Luna mendongak, menatapku dengan mulut ternganga.

Aku mengenyit. "Kenapa? Ada yang salah?"

"Mbak bilang aku cantik? Gak salah tuh?" tanyanya dengan alis terangkat.

"Nggaklah, kalau aku bilang ganteng baru salah." Aku terkekeh pelan, berusaha mencairkan suasana yang agak canggung ini.

"Aku sadar aku nggak cantik, jadi mbak nggak perlu buat guyonan seperti itu. Aku udah terbiasa kok dengan hinaan yang halus dan kasar," katanya sambil menunduk dalam.

Aku menghela napas, sebelum akhirnya berkata kembali, "pada dasarnya, semua wanita itu terlahir cantik. Meskipun cantik itu relatif, namun menurutku bentuk tubuh bukanlah parameter dari cantik. Perempuan bukan seperti barang yang dapat dibedakan berdasarkan jenis, bentuk, dan penampilannya. Semua pasti punya daya tariknya sendiri. Entah itu bakat, skill, kecerdasan atau bahkan cara bertingkah dan berbicara. Jadi, bentuk tubuh bukanlah suatu tekanan untuk tampil cantik."

Luna memandangku dengan ekspresi yang jika diterjemahkan dalam verbal akan berbunyi, 'Alah, bulshit! Karena pada akhirnya manusia menilai seseorang dari fisiknya bukan hatinya.' Tapi aku tahu ia tidak memiliki keberanian mengatakan hal itu. Lagipula, saat ini obrolan kami terhenti ketika pelayan datang membawa pesanan kami.

Setelah minuman tersaji, Luna berdiri dan mengatakan, "kalau tidak ada perlu lagi, aku pamit ya mbak." Rupanya ia ingin segera pergi dari percakapan yang mungkin membuatnya tidak nyaman. Bertemu seseorang yang tidak ia kenal dan tiba-tiba diceramahi. Wajar sih, pikirku. Tapi aku ingin menunjukkan sesuatu yang akhirnya membuatku menahan lengannya dan menyuruhnya menunggu. Aku merogoh totebag yang aku gunakan, mengeluarkan dompet berwarna tosca dari dalam sana. Lalu mengambil foto yang terselip di salah satu kantungnya. Tangan kananku kemudian meletakkan selembar foto itu di atas meja dan menggesernya ke hadapan Luna.

"Ini maksudnya apa?" tanyanya heran ketika melihat seorang gadis kusam bertubuh besar sedang tersenyum ke arahnya.

"Percaya nggak, kalau orang yang di foto itu adalah aku?"

Kelopak mata Luna membesar seketika. Ia kemudian menatapku bergantian dengan gambar yang ada di foto itu. Luna terperangah, seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Apa yang kamu alami hari ini, dulu juga pernah aku alami."

"Terus bagaimana mbak bisa berubah?" tanyanya penasaran. "Aku juga mau berubah, bagi tipsnya dong mbak?!" pintanya dengan wajah memelas.

"Kamu seriusan mau dengar kisahku?"

Dia mengangguk antusias.

Sebenarnya, saat ini juga Aku ingin bercerita agar tidak ada lagi orang seperti aku ataupun Luna di masa yang akan datang. Aku ingin menunjukkan kepada mereka bahwa setiap orang itu unik dengan kekurangan dan kelebihan yang Tuhan beri, supaya mereka bersyukur dan tidak lagi mencaci maki. Tapi sayang, sebentar lagi aku harus bertemu dengan teman lama. Hal itu membuat Luna mengesah kecewa. Aku tersenyum, lalu menawarkan bertukar nomer ponsel untuk mengatur pertemuan di lain waktu. Luna kembali tersenyum cerah, menampilkan gigi gingsul yang membuatnya terlihat semakin cantik.

"Oh ya, nama mbak siapa?" tanyanya ketika sudah selesai mengetikkan deretan angka di layar benda pipih itu.

"Aku Gwen. Gwen Syareefa Putri."

***

Assalamu'alaikum.
Aku balik lagi nih dengan cerita baru hehe. Cerita ini aku buat untuk diikutkan di kompetisi nulis dari Grasindo dalan project Grasindo Story Inc. Mohon dukungannya ya. Saran dan kritik juga sangat diharapkan. Thanks.


Lombok, 15 November 2018.

GwenDutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang