CHAPTER 1

347 38 9
                                    

Tangan Kelsa terulur menerima amplop putih berlogo universitas—tempatnya mengenyam pendidikan selama lima semester ini. Huruf kapital bercetak tebal yang merangkai dua kata itu sedikit mengusik keyakinannya.

CUTI AKADEMIK

Dia menghela napas ketika bisikan-bisikan mengganggu itu terngiang lagi untuk kesekian kalinya.

Ini keputusan paling tepat! Pekiknya dalam hati sambil mengangguk yakin.

Setelah berhasil menenangkan sel-sel tubuhnya yang selalu bergejolak heboh setiap berhadapan dengan dua kata itu, Kelsa melemparkan senyum ke staf Tata Usaha yang mengurus cutinya, lalu melangkah dengan kaki dipaksakan bersemangat.

Hal pertama yang harus dilakukan setelah keluar dari gedung Tata Usaha berlantai tiga ini yaitu menghadapi rentetan pertanyaan teman-temannya. Tentu, dia telah mengarang alasan paling mutakhir sehingga mereka tidak mampu melayangkan pertanyaan tambahan.

Sebagai mahasiswi yang dikenal pintar di jurusannya, kabar cutinya seorang Kelsa Diandra di penghujung semester pasti menggemparkan jurusan yang terletak di lantai empat gedung Fakultas Teknik itu. Di jam istirahat tengah hari, kabar itu menjadi topik utama obrolan para mahasiswa dan dosen saat makan siang.

Cewek berambut pendek ikal dengan highlight coklat hitam itu diyakini akan lulus hanya dalam waktu tiga setengah tahun, dinobatkan menjadi mahasiswa berprestasi yang akan mewakili jurusan Teknologi Pangan berikutnya, serta akan mewakili lomba-lomba berbau Karya Tulis Ilmiah di tahun ini. Tapi hal-hal itu harus dipaksakan pupus. Bahkan, Bu Desna selaku dosen pembimbing akademik menginterogasi Kelsa seharian. Meskipun awalnya Kelsa menutupi alasan sebenarnya, tapi Bu Desna sukses mengulik-ngulik Kelsa hingga cewek itu terperangkap dan menceritakan salah satu alasannya untuk cuti. Akhirnya dosen itu menerima dan menghargai keputusan Kelsa.

"Kenapa? Lo bosan ketemu gue tiap hari?" Lita bertanya sinis sambil menaikkan tali tas gandongnya. Tak tertarik dengan pemberitahuan Kelsa yang menggelikan itu, Lita mengangkat pantatnya duluan dari gazebo, meninggalkan Kelsa yang terpekur kaget karena respon teman terdekatnya dari semester satu itu jauh dari dugaan Kelsa. Meskipun watak Lita yang cuek, dengan tampang tidak penuh kepedulian terhadap orang-orang di sekitarnya, tapi Kelsa tahu sesungguhnya Lita adalah sosok yang hangat, setia kawan dan pemerhati yang unik.

Walaupun begitu, Kelsa mengira Lita akan menyampaikan deretan tanya dengan nada sinis dan tatapan tajam karena kejadian ini seharusnya tidak terjadi dalam diri seorang Kelsa. Bahkan, Kelsa telah menyiapkan lapisan perisai saat nanti Lita sekuat tenaga mengulik alasan sebenarnya. Tapi melihat sikap Lita yang cuek seperti biasa, dia tak perlu memagari diri dengan perisai.

"Gue cuti. Harus bantu bokap ngurusin pabrik." Kelsa yang sudah menjajarkan langkahnya dengan Lita mengacungkan amplop. "Udah keluar suratnya."

Lita mengerem langkah. Cewek berambut pixie cut hitam itu menaikkan alis dengan mata menilik amplop seolah matanya bisa menembus isi amplop itu. "Satu bulan nggak masuk kuliah di awal semester. Terus tiba-tiba muncul dan nunjukin surat ini ke gue? Nggak ada kerjaan banget. Harusnya lo bawa kabar paling buruk dari ini."

"Hah?" Kelsa mengikuti langkah Lita. Sesekali disela oleh sapaan adik-adik tingkatnya saat dia mencoba membuka mulut. Terpaksa dia melemparkan senyum manis sambil bergerutu di dalam hati.

"Udah menyiapkan diri buat konferensi pers di hadapan mereka kan?" Tanya Lita dengan menggerakan dagunya ke gerombolan mahasiswa sejurusannya yang baru keluar dari gedung. "Gue nggak bisa bantu. Udah ini ada kelas."

Kelsa menganga. Ratu cuek memang pantas disematkan pada Lita. Dia bahkan tidak tertarik dengan alasannya? Atau Lita mau mencari jawabannya di belakang? Dan menurutnya ini bukanlah kabar buruk yang keluar dari mulut seorang Kelsa?

On Leave!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang