Perkenalan (1)

36 4 3
                                    

Bandung, 24 September 2018

Setelah kepergiannya, aku selalu menyempatkan diri untuk datang ke tempat ini meski hanya seorang diri. Dengan membawa satu cup Matcha Latte hangat kesukaannya. Setiap hari, aku habiskan waktu sore ku hanya untuk sekedar melihat sebuah warna jingga. Dimana setiap aku melihatnya aku selalu merasa bahwa dia masih disini bersamaku, disampingku. Namaku Cassandra Oktavia, namun aku selalu di panggil dengan sebutan "Jingga".

Aku adalah seorang gadis yang memiliki banyak mimpi, salah satunya menjadi seorang Penulis. Aku selalu percaya bahwa apa yang kita harapkan suatu saat nanti, jika Tuhan berkehendak semua itu akan terjadi. Aku memiliki semangat yang tinggi untuk menggapai semua harapanku, namun aku memiliki seseorang kekasih yang tidak pernah bisa mengerti apa yang sebenarnya aku inginkan. Panggil saja dirinya "Davis" seseorang yang telah melewati hari demi hari bersamaku selama 8 bulan belakangan ini. Entah, mengapa aku masih bertahan dengan seorang Davis. Cowok yang memiliki sifat Posesif yang sangat luar biasa, hidupku tidak pernah bebas selama 8 bulan ini. Tetapi, itu semua tidak menyurutkan semangatku untuk menjadi seorang Penulis.

"sepertinya layar laptop mu lebih seru dibanding aku ya?"ucapnya sembari menutup layar laptop ku dengan kasar
"Davis, kamu kenapa sih? itu belum aku save. Aku susah payah nulisnya"kataku
"ya, siapa suruh kamu cuekin aku"
"aku ngga cuekin kamu, kamu ngomong pun aku sahutin kan. Please jangan seperti anak kecil Davis"
"aku anak kecil? Emang dasar kamu nya aja yang engga pernah ngerti"

Setiap hari, ada saja yang aku pertengkarkan dengan Davis. Entah, kapan dia bisa berubah. Hanya sebuah janji tapi tidak pernah dia jalanin. Davis tetaplah Davis dengan sifat Posesif nya yang tidak akan pernah berubah. Terkadang aku bingung dengan sifatnya yang seperti itu. Dia bisa membuatku merasa bahagia namun dalam hitungan detik, dia juga yang bisa menghancurkan semuanya. Aku bahagia, disaat dia ikut tersenyum dan memelukku disaat aku memenangkan beberapa event menulis. Namun, terkadang sifat itu berubah dikala dia mulai bosan melihat aku selalu sibuk dengan tulisanku. Seakan aku mulai berpikir sebenarnya dia mendukungku atau malah ingin menjauhkan aku dengan harapanku.

Jujur aku selalu menuruti apa perkataan Davis, apa keinginan Davis. Aku tidak pernah mengabaikan dia begitu saja. Disaat dia butuh teman untuk bercerita, aku selalu disamping dia. Ku dengarkan setiap keluh kesahnya tentang tugas akhirnya, teman-teman, hingga masalah dalam keluarganya. Aku mencoba untuk mengerti Davis, dan selalu menyakinkan diri bahwa dia bisa berubah suatu hari nanti. Namun, dari semua yang telah aku berikan ke Davis dia sama sekali tidak pernah mau mengerti apa yang aku mau. Menjalani sebuah hubungan bersamanya, banyak sekali gejolaknya. Meski Davis seperti itu aku tetap menyayanginya. Itulah alasan mengapa aku masih bertahan selama ini.

Malam ini, aku menghubungi Davis hanya untuk sekedar memberi tahu dia bahwa esok pagi aku harus pergi ke Jakarta, karena aku harus ikut Mamah pergi kerumah Nenekku disana. Awalnya, Davis memaksa untuk ikut namun aku menyuruhnya untuk tetap stay di Bandung. Dia harus mengikuti seminar, tidak mungkin dia tidak hadir hanya karena ikut denganku ke Jakarta. Dengan susah payah aku meyakinkan dia bahwa aku akan baik-baik saja selama 3 hari di Jakarta, dan tidak akan macam-macam. Davis pun setuju, aku merasa lega dan mulai menyiapkan apa saja yang akan aku bawa selama 3 hari.

Bandung, 05:30 WIB

Selama perjalanan menuju Jakarta, aku selalu mengabari Davis. Sesekali dia menelponku hanya untuk menanyakan aku telah sampai dimana. Perhatian dia yang berlebih membuat dia menjadi sebuah pribadi yang posesif yang tidak pernah mengerti tapi selalu memaksa untuk di mengerti. Sesampainya di Jakarta, Davis menghubungiku melalui Video Call. Wajah yang di awali dengan senyuman seakan berubah menjadi sosok yang sangat aku benci. Wajahnya memerah, alisnya pun mulai naik. Dia mulai mengatur nafas

"kamu di Jakarta, sama ibu atau sama cowok sih?"
"sama Mamah, ngapain aku bohong sama kamu"
"terus itu tadi siapa yang di belakang kamu? yang manggil kamu sok akrab banget"
"astaga, itu anak dari om aku Davis. Dulu aku pernah ceritakan"
"dasar pembohong, seharusnya aku ikut kamu ke Jakarta. Oh! Tunggu sekarang aku paham, kenapa kamu semalam nyuruh aku tetap stay di Bandung ternyata disana kamu nyamperin selingkuhan kamu kan"
"terserah, aku cape. Terserah kamu mau bilang apa"
aku pun menutup panggilan dari davis, aku kecewa dengan dia. Sekali lagi dia tidak mempercayaiku. Aku memutuskan untuk tidak menghubungi dia. Aku ingin terbebas dari dia sebentar. Masa bodoh dia akan marah. Aku tidak peduli.

Di sepanjang jalan menuju rumah Nenek, Davis tidak henti menelpon atau sekedar mengirimkan pesan. Aku tidak mempedulikannya sama sekali, aku ingin dia sedikit berpikir bahwa dia itu salah.

"Kenapa Ra?" tanya Mamah
"Davis, dia mulai lagi"
Mamah mengatur nafasnya, dan mengelus kepala ku
"sudah terlalu sering Mamah bilang ke kamu, hubungan kamu dengan Davis tidak bisa di lanjutkan. Jujur, Mamah kehilangan anak Mamah yang bebas melakukan apapun yang dia inginkan tanpa ada sedikitpun beban dipikirannya"
"tapi, Rara sayang sama Davis"ucapku sembari melirik ke arah Mamah
"Mamah lebih sayang sama anak Mamah, makannya Mamah bisa bilang seperti itu. Tapi itu semua tergantung kamu. Kamu harus pikirkan semua ini, sebelum kamu melangkah lebih jauh"

Aku hanya diam

Jingga Di Batas KotaWhere stories live. Discover now