Sufjan Steven - Futile Devices.
...
dari setiap hal yang telah lama berlalu diantara kita berdua. aku masih ingat betul bagaimana wangi mataharimu memenuhi hidungku atau juga wangi bakaran tembakau yang selalu kau pantik bila kau bersamaku. atau mungkin tingkah urakanmu atau konyolmu. aku ingat semua, semua panggilan bodohmu. aku ingat karena itu membekas, seperti luka lama. Walau kadang kupikir aku menyesali setiap hal yang terjadi, tapi nyatanya aku masih menginginkanmu. hadirmu, senyummu, wangimu, sentuhanmu, suaramu, sifatmu, dirimu. aku ingat setiap bisikanmu, penuh cinta. dan setiap celah yang ada didirimu adalah sengat yang menggugah hatiku. aku cinta padamu, entah harus berapa kali kutunjukan.
.
"rangga"
aku terbangun karena suara sayupmu memanggilku malam itu. kedua matamu terbuka separuh -masih tampak mengantuk, lengkap dengan senyum tipis tersungging disana. jari - jarimu kemudian menyisir helai - helai ikal rambutku. halus dan penuh sayang. rasa - rasanya membuai.
"kenapa?" tanyaku, mengelus pipinya lembut.
ia menggeleng. dan berkata,
"milea telpon."
tentu saja. aku tahu apa maksud dari bangunnya. kemudian aku hanya tersenyum, paham. lalu bangkit dari tidurku, memakai kembali pakaian yang tersisa berserakan dilantai dengan berat hati, kemudian menghidupkan lagi lampu kamarku. begitu pula ia. bergegas dengan pakaian - pakaiannya. tak ada satupun dari kami bersuara saat itu, hanya keheningan yang memuakkan. aku menghela nafasku berat sekali saat melihat raut punggung sempitnya yang kini telah terbalut jaket denim yang selalu ia gunakan setiap saat. sebuah jaket yang menjadi identiti yang kuat baginya. kalau bukan karena siapapun, mungkin telah kupeluk erat punggung itu. menahannya jauh dan menjadikannya milikku selamanya. tapi impian bukanlah hal yang semudah itu kan?
kemudian ia membalikan tubuhnya kearahku, menatap kedua netraku dengan makna yang kupahami. hanya perlu tatapan dan aku tahu apa isi hatinya. aku mengangguk dan memberinya sebuah pelukan kelewat hangat. sebelum akhirnya ia berbalik dan menghilang dibalik pintu.
pergi meninggalkanku, entah sampai kapan.
.
Sudah tiga bulan berlalu sejak terakhir kami bertemu. Aku paham bahwa dia tak bisa diam, ia akan pergi ke sana kemari. Dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Namun, sejauh aku melongok hanya untuk melihat batang hidungnya ia tidak ada dimana mana, seakan ia tenggelam ditelan lautan. Seakan eksistensinya lenyap dan musnah tanpa sisa. Entah berapa orang yang kukenal sebagai relasinya yang kutanyai tentang letak kepergiannya, tak ada satupun jawaban. Mereka sama bingungnya.
Kadang di saat aku memilih untuk diam sejenak, memberi jeda. Aku berpikir apa dia menemukan tempat lain?
Dunia lain?
Kehidupan lain?
Apa dia memutuskan pergi meninggalkan Bandung untuk selamanya, mencoba cari peruntungan di suatu tempat asing atau mungkin kini ia telah menikahi kekasihnya milea, lalu bangun rumah disuatu tempat nun jauh didalam pedesaan. Yang walaupun aku tahu bagaimana dilan tidak pernah setuju dengan pemikiran milea atas sistemasi laporan kegiatan sebagai pacar yang selalu ia ceritakan disela hisapan rokoknya saat mereka bertengkar karena dilan seorang apatis. Dilan yang berjiwa bebas, urakan, semaunya dan milea yang layaknya wanita yang haus akan perhatian. Selalu bersikeras satu sama lain.
Dan dikala dilan pergi menuju pelukanku, mengatakan bahwa ia jauh lebih mencintaiku dan ingin segera hidup bersamaku. Apakah aku harus berbahagia atas ini semua? Berbahagia atas teguk manisnya racun dosa dan kebahagiaan atas hancurnya hubungan internal seseorang?
KAMU SEDANG MEMBACA
LAKUNA • RANDILAN •
Fiksi Penggemar"Lakuna [kb, latin] : ruang kosong, bagian yang hilang" Rangga 'AADC' x Dilan 'Dilan 1990' 🚫crack ship, typo(s), too much cheesy/cringe!🚫 ©taemanggos.