Jadi ceritanya tadi malem nggak bisa tidur dan malah kepikiran yang enggak-enggak kek gini😆.
Ku pikir tulis aja kali, daripada ngapain guling-gulingan kesana kemari nggak jelas.
Ok skip, apaan coba pake acara curhat segala 😆.
Happy reading gaes.
❤❤❤
Sedikit buru-buru ku kenakan flatshoes ku. Setelah itu aku mengintip kaca untuk memastikan penampilanku sekali lagi. Oh ya ampun rambutku masih mengerikan, hampir saja aku lupa bersisir. Ku lepaskan ikatan kendur di rambutku, lalu ku raih sisir hitam di atas meja.
Ah kenapa aku jadi gugup begini. Ini hanya kencan biasa, dan bukan pertama kalinya. Mungkin karena sudah lama aku tidak melakukan hal semacam ini. Aku terlalu fokus dengan kuliahku hingga malas memikirkan urusan cowok. Pertemuan ini pun, kalau bukan Zara yang mengaturnya mungkin tidak akan pernah ada.
Wisnu cowok ramah dan santun. Aku belum menaruh hati padanya, tapi Zara bilang ia sudah menyukaiku. Jadi ku berikan kesempatan baginya untuk lebih mengenal diriku. Toh dia cowok baik-baik, bukannya brengsek seperti seseorang.... aaargh aku segera saja merasa kesal mengingat wajah tampan dan seringai menyeramkan itu. Untuk apa aku membandingkan Wisnu dengannya, Wisnu jauh jauh jauh jauuuuuuuuh lebih baik darinya.
Aku selesai menguncir rambut dan merapikan penampilanku sekali lagi. Mm.... Baiklah kurasa sudah cukup baik. Aku raih ponsel dari atas nakas, mengecek apakah Wisnu sudah menghubungiku lagi. Tidak ada pesan, mungkin dia sudah dalam perjalanan. Sudahlah, sebaiknya aku juga bergegas. Ku masukan ponsel ke dalam tas, sembari berjalan keluar dari kamar.
Ku cabut kunci dari lubangnya, lalu membuka pintu. Aku memekik saking terkejutnya melihat wajah tampan yang benar-benar sedang tak ingin ku lihat itu. Ralfin baru mau mengetuk pintu. Kami saling pandang beberapa saat. Dan jantungku berdebar hebat saat melihat seringai mengerikan itu lagi.
"Tidak sekarang," kataku buru-buru, tahu betul apa arti seringaian itu.
Dia mengernyit penuh tanya.
"Aku sudah ada janji," tambahku mendorong dadanya pelan bermaksud menyingkirkan ia dari jalan.
Ia sedikitpun tak bergeming. Ah sungguh aku benci sekali kekuatan tubuhnya itu.
"Janji dengan siapa?" Tanyanya.
"Teman," jawabku cepat. Ini buruk, karena aku mulai gugup.
"Laki-laki atau perempuan?" Tanyanya lagi.
Aargh, sudah kuduga dia akan menanyakan itu. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Kalau ku katakan perempuan, dia akan segera tahu kalau aku berbohong. Kalau ku katakan laki-laki ia mungkin tidak akan membiarkankan aku pergi.
"Bukan urusanmu," jawabku akhirnya. Mencoba untuk menyingkirkan dia lagi dari jalanku.
Kelihatannya jawaban itu salah. Padahal aku yakin memang itu bukan urusannya, dia bukan pacarku. Dia tak bergeser sedikitpun, dan aku mulai khawatir. Dia langkahkan kakinya hingga kini justru aku yang terdorong masuk kembali kedalam rumah.
"Ralfin," kataku mulai panik.
"Ku mohon, aku tidak bisa melakukannya sekarang. Aku sudah terlanjur ada janji," kataku memelas."Ku tanya sekali lagi, laki-laki atau perempuan?" Katanya mencengkeram kedua pundakku dan menatapku tajam.
Aku benci tiap kali ia bersikap seolah-olah punya hak atas diriku. Ku pukuli dadanya dengan kesal.
"Sudah ku bilang itu bukan urusanmu. Urus saja pacarmu sendiri," seruku setengah berteriak.

KAMU SEDANG MEMBACA
(bukan) PELAKOR [End]
Short Story#FiveSHOOT #21+ Adhina terjerat dalam pelukan Ralfin, pacar dari temannya sendiri. Bukan ia yang minta, sungguh kalaupun bisa dia ingin lari darinya. 🔞Konten dewasa bermuatan adegan eksplisit. *Ini sebenarnya Oneshoot yang berkembang jadi bershoot...