Mala petaka tiba tanpa diduga. Lewat segala peristiwa yang tidak pernah terpikir sebelumnya. Setidaknya, itulah hal paling mengejutkan yang pernah aku rasakan.
Bagaimana tidak, rasa yang kupendam selama tujuh tahun harus berakhir dengan sebuah pilihan untuk tetap dihancurkan.
Mengapa Tuhan lebih senang bermain hati? Mengapa manusia diberikan kehendak untuk mengikuti hati yang dipermainkan itu? Apa benar semua itu ujian karena Tuhan sayang, atau justru itu cara Tuhan untuk menertawakan?
Biar saja Tuhan tertawa sepuasnya. Biar saja mataku terpejam. Aku tak ingin kembali pada kenyataan, kalau dalam mimpi saja aku bisa memilikimu. Memiliki segala rasa yang kau kubur dalam-dalam, hanya demi seseorang yang tidak ingin kita sakiti.
Ya, andainya permainan malam itu tidak pernah kita lakukan, kurasa aku akan tetap berada dalam jarak amanku. Mengagumimu dari kedekatan sahabat. Bukan seperti ini, berakhir dalam sebuah kendaraan roda empat dengan deru mesin yang iringi hati remukku untuk menempuh sejauh-jauhnya jarak darimu.
Apa aku tersiksa? Sudah pasti aku tidak perlu menjawabnya. Siapa yang tidak sakit, jika orang yang dicintainya punya rasa yang sama. Namun, keduanya harus membunuh rasa yang tumbuh?
Mungkin benar adanya, kau dan teori Kimiamu sudah membuatku bertekuk lutut. Apalagi bila kuingat penjelasanmu mengenai freezing point depression. Kau pernah menjelaskan bahwa ketika berada di titik tersebut, air mampu mencapai kesetimbangan perubahan bentuk. Pada suhu nol derajat celcius, dalam keadaan setimbang, beberapa bagian balok es akan mencair, diiringi pula pembekuan air di beberapa bagian lainnya. Kesetimbangan tersebut akan terganggu bila terjadi perubahan suhu sedikit saja.
Dari penjelasan itulah, aku mendapat satu analogi yang membuatku terjebak dalam sebuah logika berpikir. Bagaimana bila yang berada di titik itu bukanlah sebuah balok es? Bagaimana jadinya, jika seorang manusia berada dalam kesetimbangan rasa yang sangat rawan itu? Di mana, perubahan perasaannya mampu membawa kebahagiaan atau malah kepedihan? Bagaimana jika satu pernyataan singkat, mampu merubah sudut pandang seseorang? Membuatnya semakin kuat atau justru hancur menjadi kepingan tak berarti?
Astaga!
Mengapa aku semakin larut dalam kesedihan ini? Sudah hancurkah aku? Seperti inikah, kepedihan yang menjadi hantu yang selalu membayangiku selama ini?
Lalu ... bagaimana jadinya, bila aku dan kau bersikeras untuk bersatu? Tidakkah ada hati yang akan kita hancurkan di bawah kebahagiaan yang terjadi? Tidakkah itu suatu pengorbanan yang mampu ditunda? Mengapa hidup selalu membawa banyak pilihan? Tidakkah boleh bila dua orang saling mencinta tanpa menyakiti hati siapa-siapa?
Percuma saja. Semua pertanyaan itu sudah kulahap. Tandas dan tanpa jawab yang jelas. Semua pertanyaan itu sudah cukup membuat perutku kenyang. Semua pertanyaan yang sudah jelas membuatku tidak ingin menyentuh makanan apapun yang disuguhkan.
Aku sudah tak tahu mana yang salah dan benar. Namun, cukuplah keputusan satu ini yang kuambil dan kuterima segala risikonya. Mungkin benar juga, melihat dari kejauhan orang yang disayang bukan berarti tidak peduli, ‘kan?
Lihat saja! Matahari tetap menyinari bumi, meski bumi berada di titik terjauh darinya. Matahari hanya tahu, bumi tetap kembali. Matahari tetap memberi apa yang dia mampu beri. Tidak pernah menuntut apapun.
Malam kian beranjak, kala aku tersadar. Masih duduk sendiri di barisan tengah, aku hanya menyandar pada jendela kaca besar yang terasa semakin dingin. Bukan karena pendingin udara, tapi karena guyuran hujan deras di luar sana. Polaroid dari aliran air mulai terbentuk, penuh warna sebab pantulan cahaya. Tidak ketinggalan butir-butir cahaya nampak begitu indah. Damai kurasa, iringi rasa usang yang telah usai dimakan usia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Yang Tak Mungkin
Short StoryJatuh cinta itu mudah. Yang sulit adalah meyakininya. Jatuh cinta itu sederhana. Yang rumit adalah cara menyangkalnya. ⚪ Denting Dawai ⚪