Kuntum 1. Tunas badai

51 7 4
                                    

Seuol, akhir desember 2013

   Larut malam, lelaki berusia dua puluh empat tahun itu terguncang, mendadak terjaga dari tidurnya yang lelap. Dia bermimpi aneh.

   Seorang gadis menangis diantara badai bunga merah yang berhamburan di langit senja. Senja yang merah menyala. Senja yang bergaris siluet bagai sedang dicakar kuku-kuku cahaya perak. Rambut hitam panjang menguntai menutupi wajahnya.

   Lelaki itu seperti melangkah menghampirinya, kemudian sang gadis memeluk tubuhnya tanpa ragu. Tampak di antara helai-helai hitam yang tergerai di wajah gadis itu, matanya yang berwarna pejam bergerimis hingga membasahi bahu kiri si lelaki. Gadis itu terisak, tersendu sedan, mengencangkan rengkuh peluknya. Sedangkan badai bunga merah-dengan aneka ragam kembang berwarna merah: mawar, bunga sepatu terus berguguran dari langit. Menerpa mereka berdua.

   Malam masih menunjukkan angka waktu yang larut. Malam yang hanya diam memasung pikiran lelaki itu, yang seakan telah terjerang kecemasan.

   Dia tak tahu apa pertanda mimpi anehnya. Namun hatinya merasa terusik. Badannya kuyup oleh keringat bersela hela napas yang memberat. Diperhatikannya bahu kirinya basah.

   Bermenit-menit dia terjerat dalam tegun dan mematung sendiri di atas kasur. Terpekur dalam segambar mimpi anehnya: seorang gadis menangis, badai bunga-bunga merah, sebatang pohon kamboja.....

   Adakah yang bisa meraba tanda-tanda di antara desir darahnya yang mengencang dalam kesunyian malam?

   Di atas meja, tiba-tiba ponsel menggigil bersama gesekan nada.

   Raisa's calling...

   Raisa? Ada apa gadis tomboi itu meneleponku saat malam sebegini larut? Lelaki itu mengernyitkan dahi.

   "Ada apa tengah malam meneleponku?" sapanya.

   "Rangga, aku harus ke kota Suwon malam ini. Ada kabar buruk, ibuku katanya lagi sakit. Tapi, cuaca saat ini begitu mencekam. Salju membuatku tak bisa berbuat banyak." Suara Raisa di balik mikrofon ponsel lelaki itu.

   Lelaki yang dipanggil dengan nama Rangga itu terkejut. "Sakit? Sakit apa ibumu?"

   "Demam. Biasa, sejak ibu di Korea, beliau memang suka demam jika pergantian musim. Bersin-bersin. Maaf, aku belum cerita perihal ini kepadamu."

   "Hmm..., aku belum terbiasa dengan salju. Maklum orang Indonesia... Tapi, omong-omong, bukankah sewaktu remaja kamu memang terbiasa pergi sendirian meski salju turun, Bro?" Tanya Rangga menggoda.

   Rangga menyukai teman wanitanya yang bernama Raisa itu dengan memanggilnya "bro". Tentu karena Raisa adakah gadis tomboi, seorang wanita dengan penampilan yang nyaris seratus persen pria. Mulai dari potongan rambutnya yang pendek, serta selalu mengenakan jamper dan jeans, atau baju hem dan topi ala koboi yang dikombinasi sepatu boot. Logat dan gelagatnya pun tampak maskulin. Bahkan, Raisa pernah mengisahkan tentang dirinya kepada Rangga bahwa wanita kelahiran Bandung itu pernah menjuarai pencak silat antarmahasiswa di kampusnya ketika dia masih kuliah di Indonesia.

   Dan, satu hal yang membuat Rangga tercengang oleh teman wanitanya itu yakni ketika kerap kali Raisa memelintir lengannya. Perlakuan semacam itu sering terjadi jika Rangga tak mau memenuhi permintaan bantuan si bro-nya itu.

   "Eits! Jaga moncongmu, Rangga, kalau tak mau kupelintir otot-ototmu!" cibir Raisa.

   Rangga tertawa. "Wow...wow...wow... Kamu memang benar-benar! Okelah, apa yang harus kubantu, Bro?" tanyanya.

   "Temani aku pergi menjenguk ibu di Suwon...." suaranya mengeras.

   "Sejak kapan Raisa jadi anak manja, ya, Bro? Hmm...."

The Melting SnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang