Aku masih memasang wajah masam selama perjalanan yang entah ke mana Damar akan membawaku ini. Sejak tadi juga pria itu diam saja. Tak berniat menjelaskan sedikitpun apa maksudnya membawaku kabur dari pesta. Walau sudah kucoba untuk memancing pria ini bicara, tetap saja Damar masih melanjutkan aksi diamnya. Bahkan saat kukatakan padanya bahwa aku lapar dan ingin makan, Damar belum menanggapi juga. Akhirnya akupun memilih ikut mendiamkan diri seperti yang Damar lakukan.
Tapi sayangnya perutku tak sejalan dengan keinginanku. Karena tiba-tiba saja dia berbunyi dengan nyaringnya. Membuatku malu setengah mati karena seperti korban busung lapar saja. Padahal di pesta tadi aku sempat makan beberapa kue yang setidaknya bisa mengganjal perutku sebelum aku bertemu dengan yang namanya nasi. Tapi sial, lagi-lagi kenyataan memang tak seindah keinginan. Sambil memegangi perut, aku memalingkan wajah ke samping jendela. Menatap jalanan yang gelap di luar sana.
Sampai terdengar tawa tertahan yang sangat kuyakin dari bibir Damar. Memangnya siapa lagi yang akan tertawa saat di dalam mobil hanya ada kami berdua. Aku langsung mengalihkan pandangan dan menatap Damar dengan tajam.
“Enggak usah ketawa!” desisku kesal.
“Kamu lapar?” Damar bertanya dengan bodohnya.
“Daritadi memangnya saya minta apa sama Bapak?” balasku tak kalah kesal.
Damar malah makin tertawa. Tapi kemudian pria itu mengulurkan sebelah tangannya untuk mengacak puncak kepalaku. Langsung saja aku menggeram dan menghindar dari perbuatannya. Yang berakibat pada kepalaku yang terbentur ke kaca jendela.
“Auwh...” ringisku. Dan kembali pria itu tertawa.
“Makanya jangan nakal.”
“Yang nakal siapa?”
“Kamu mau makan atau tidak. Kalau masih membantah saya...”
“Makan Pak, makan!”
“Kamu mau makan apa?”
Saat pertanyaan itu keluar, banyak makanan yang terbayang di kepalaku. Tapi semua itu buyar saat aku melihat ke pinggir jalan di mana beberapa pedagang menjajakan dagangannya.
“Nasi goreng.” Tunjukku pada salah satu warung nasi goreng pinggir jalan yang ramai dikunjungi.
Dahi Damar mengernyit. Pria itu seperti tak setuju. Terlebih saat matanya fokus pada tubuhku. Membuat dia berdecak kesal seraya menggelengkan kepala.
“Enggak. Kita cari yang lain.”
“Kenapa? Saya sudah lapar Pak. Dan maunya nasi goreng,” bantahku.
“Kamu nggak lihat pakaian kamu?”
Aku menunduk untuk melihat penampilanku. “Apa yang salah?” tanyaku kemudian. Damar kembali berdecak.
Aku melayangkan tatapan jengkel padanya. Apa dia pikir orang dengan pakaian mahal dan mobil mewah tak pantas duduk membaur dengan pelanggan lain di warung pinggir jalan. Jika Damar berpikiran sempit seperti itu, jangan harap aku akan menghormatinya. Mau setinggi apapun jabatan dan kuasa seseorang, tak lantas membuatnya tinggi hati untuk bisa berbaur dengan orang lain. Jangan harap aku akan menerima Damar. Hah, aku mulai berkhayal.
“Bukan karena kita tidak pantas makan di tempat seperti itu,” jawab Damar malas.
“Lalu?” tuntutku tak mau kalah.
“Saya nggak suka orang lain natap kamu begini!”
Baik, kupikir saat ini aku bermimpi. Bisa kurasakan telingaku memanas mendengar kalimat Damar barusan. Pria itu menyebutkannya seperti tanpa beban. Seolah ia biasa saja mengemukakan pendapatnya. Seolah aku terbiasa untuk menerimanya. Seolah kami adalah pasangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh My Boss! [Sudah Terbit]
Literatura Feminina[Beberapa part telah dihapus] [Telah tersedia dalam bentuk ebook di google play store] Punya Bos seperti Damar Kharisma membuat umur Handayu rasanya berkurang tiap detiknya. Ada saja sikap Damar yang membuat darah gadis itu mendidih sampai ke ubun-u...