Seorang gadis berseragam SMA dengan rambut yang tergerai indah itu tengah duduk sendirian di kantin sembari menyantap makanannya. Hal itu sontak memancing perhatian seisi kantin, siapa yang tidak mengenalnya. Wajahnya yang mulus, bibir tipis dengan hidung mancung dan bulu mata lentik.
Dia adalah Aneth Prisillia Laurenz. Gadis dingin dengan sejuta pesona. Aneth sangat jarang tersenyum, kurang bersosialisasi, dan tak pandai mencari teman.
Selain anak dari pemilik sekolah, para siswa-siswi memilih tidak ingin bermasalah dengan gadis itu. Sebab mereka tahu, bahwa masalah Aneth ada pada kakak laki-lakinya.
Dulu, ketika Aneth masih menginjak kelas delapan SMP. Seorang wanita bersama anak laki-laki yang mungkin seusianya tiba-tiba mendatangi kediaman mereka. Wanita itu mengaku sebagai kekasih gelap sang ayah, dan anak laki-laki itu adalah anak mereka.
Sontak saja, ibu dari Aneth merasa terpukul mendengar kabar tersebut dan lebih parahnya lagi, semua itu adalah fakta.
Keadaan kala itu berangsur berantakan, hingga ibu dari Aneth memutuskan untuk pergi kerumah saudaranya. Naas, kepergian tersebut berhasil merenggut nyawa sang ibu karena taksi yang ditumpanginya mengalami kecelakaan.
Kejadian itu membekas dalam ingatan Aneth hingga ia menjadi seperti sekarang. Masalah kian merambat saat wanita selingkuhan ayahnya memilih tinggal bersama mereka. Menempati tempat tinggal yang dulunya menjadi penghadir tawa bagi Aneth yang pada akhirnya menjadi sebuah luka.
"Woy!" tegur salah seorang siswa dengan senyuman khasnya.
"Widih, enak nih?" kekeh pemuda itu menatap piring nasi goreng Aneth.
Aneth diam sejenak lalu menghembuskan napas kesal memilih mengakhiri makannya.
"Ganggu, lo!" rutuk Aneth pada pemuda itu.
Defa Giovani. Mungkin hanya Defa yang berani berteman dengan Aneth. Memang, mereka berteman sejak kecil, Defa tau semua kisah hidup Aneth bahkan ia sudah menganggap Aneth sebagai adiknya sendiri. Ia akan menjaga Aneth, melindunginya dan siap menjadi badut jika memang diperlukan.
"Buat gue, nih?" tanya Defa mengambil alih piring Aneth.
Tak ada jawaban, yang berati iya. Tetapi terkadang, diamnya Aneth juga berarti tidak. Tergantung cara Defa memahaminya.
"Kalau gini tiap hari, aman deh uang jajan gue. Hahaha!" tawa Defa yang memang tinggal sendiri di apartemen, sejak orang tuanya memilih bercerai dengan damai.
Tiba-tiba pandangan Aneth yang tadinya damai berubah seketika setelah melihat seorang pemuda bersama teman-temannya memasuki kantin.
"Heh! Kemana lo!?" tanya Defa saat Aneth bersiap pergi.
Defa menoleh, dan rupanya masalah hidup Aneth mendekati mereka.
"Sil?" panggil pemuda tampan yang nampak memiliki kemiripan postur wajah dengan Aneth.
Dia adalah Malik Adrian, saudara seayah yang merenggut kebahagiaannya sejak kedatangannya dalam kehidupan Aneth.
"Papa nyariin elo, mending lo pulang." Malik berucap hingga membuat pandangan Defa tertuju padanya.
"Loh? Elo masih belum pulang?!" tanya Defa yang baru tahu. Sebab sudah dua hari Aneth berada di apartemennya dan jika malam tiba gadis itu pergi dengan alasan pulang kerumah.
"Bukan urusan lo!" ucap Aneth kemudian pergi namun berhasil dicegah oleh Malik.
"Tidur dimana lo dua malam terakhir!?" tanya Malik nampak tak bersahabat.
"Bukan urusan lo!" Aneth meninggikan suaranya mencoba melepas genggaman tangan Malik.
"Ei... jangan main tangan dong," potong Defa menggenggam tangan Malik tak kalah eratnya.
"Jangan ikut campur deh, lo!" kesal Malik yang memang tak terlalu suka dengan Defa yang selalu ikut campur urusan mereka.
"Elo yang jangan ikut campur hidup gue!" bentak Aneth pada Malik.
"Wajar dong! Gue, Kakak lo----"
Plak!
"Lo bukan, Kakak gue! Nyokap lo, juga bukan nyokap gue! Lo rebut semuanya dari gue! Malik!"
Defa langsung mengajak Aneth pergi setelah gadis itu kembali membuat Malik naik pitam seperti hari-hari yang telah lalu.
"Lo---"
"Bro, udah!" cegah salah seorang teman Malik.
"Neth, gue nggak masalah lo nginap di apartemen gue. Lebih baik gitu dari pada elo keluyuran malam-malam," ucap Defa ikut memberi nasihat.
"Gue nggak keluyuran! Gue nemuin nyokap!" tegas Aneth menepis tangan Defa.
"Sampai kapan sih! Lo bukan anak kecil lagi! Lo harus ngerti kalau nyokap lo---"
"Bro..." potong Defa atas kalimat Malik setelah ia menatap mata Aneth yang berkaca-kaca.
"Gue benci elo!" tunjuk Aneth pada Malik kemudian pergi disusul Defa yang nampaknya sudah terbiasa dengan kejadian ini, begitupun seisi kantin.
Aneth tak menghiraukan panggilan Defa. Gadis itu mengambil tasnya dari kelas kemudian berlari ke parkiran mobil dan tanpa membuang-buang waktu, Aneth pergi dengan mobilnya.
Satpam sekolah pun tak dapat menghalangi, termasuk Defa yang hanya bisa pasrah mengusap keringatnya.
"Argh!" gusar Aneth memukul stir mobil. Ia menatap kursi belakang, beberapa baju yang tergantung, sepatu santai, dan juga perlengkapan lainnya. Mobil baginya sudah seperti rumah.
Aneth melajukan mobilnya menuju tempat yang sering ia kunjungi yakni pemakaman. Baru satu langkah ia turun dari mobil, tiba-tiba suara yang sangat ia kenali nampak mendekatinya.
"Sisil..." panggil pria yang tiada lain adalah Fero, ayah dari Aneth.
"Akhirnya Papa ketemu kamu disini, pulang yuk sayang..." ucap Fero lembut.
"Enggak."
Satu kata yang selalu diucapkan Aneth pada sang ayah.
"Sampai kapan kamu kayak gini? Mama Rika itu wanita baik," tutur Fero sendu.
"Sampai kapan?" tanya Aneth tersenyum sumbang.
"Sampai Papa ngusir mereka dan mataharinya Sisil balik!" ucap Aneth.
Sisil adalah panggilan terkhusus dari orang tuanya, Sisil mencerminkan sikap hangat, ceria, suka tertawa lain halnya dengan Aneth yang sekarang.
Aneth membenci nama itu, ia bukan Sisil! Sisil sudah pergi seiring kepergian ibunya.
"Itu nggak mungkin, sayang..." balas Fero.
Yang dimaksud Aneth matahari adalah Mentari. Ibu kandungnya, yang sangat ia sayangi dan cintai.
"Itu karena Papa. Papa jahat!" ucap Aneth kembali membuat Fero terpukul.
Fero mengeluarkan sapu tangan lalu mengusap pipi sang anak. "Kalau kamu mau pulang, pintu rumah selalu terbuka buat kamu. Papa selalu nunggu kamu," ucap Fero kemudian pergi kembali ke mobilnya.
Aneth terisak setelah memastikan ayahnya sudah pergi. Kini ia berjalan menuju sebuah pusara yang tiada lain adalah makam sang ibu.
Aneth berlutut, menundukkan wajah mengusap batu nisan bertuliskan nama Mentari.
Aneth hanya bisa menangis dalam diam, tak tahu kalimat apa yang harus ia ucapkan. Rasanya, ia ingin menyusul sang ibunda, berada dalam dekapan sangat sang ibu, seperti tahun-tahun kebersamaan mereka dulu.
Tapi itu semua mustahil, benar kata Malik. Kalau Aneth bukan anak kecil lagi namun sayangnya Aneth masih tak dapat menerima takdir hidupnya. Kehilangan sang ibu sebab perselingkuhan sang ayah.
Aneth ingin berteriak sekuat tenaga meluapkan isi hatinya namun ia tak mampu. Apakah dunianya memang semenyedihkan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cold Girl ✔
Random(Tamat) 01 in #adacintadisma 02 in #coldgirl 02 in #brokenhome 03 in #icegirl Aneth Prisillia Laurenz, atau yang sering dipanggil Aneth. Gadis cantik yang menjadi incaran bagi kaum adam di SMA nya. Namun dibalik itu semua, Aneth adalah gadis dingin...