Red, Black and White

801 67 14
                                    

"Pada akhirnya semua usaha yang kau lakukan sia-sia."

Tetsurou menghela napas berat, sebelum membuka mulutnya kembali untuk berbicara, "Terserah kau mau bilang itu sia-sia atau apapun, yang jelas aku tidak akan menyerah semudah itu."

"Baiklah jika senpai tak mau mendengar. Pesan dariku hanya ucapan semoga sukses pada ujian akhirmu, Kuroo-senpai."

Begitu konversasi diakhiri, Kei meninggalkan Tetsurou seorang diri.

"... Kau tidak pernah berubah, Megane-kun."

Tetsurou tetap berdiam diri di sana, netra bak kucing miliknya nenerawang. Menatap sosok benda langit yang bersinar memikat atensi ditemani gemintang di sekitarnya.

"Memangnya tidak boleh, ya...?"
.
.
.
Pagi hari itu Kei sudah berada di kelasnya dengan headphone bertengger manis di telinga. Jujur saja, sebenarnya lelaki bernama lengkap Tsukishima Kei ini tak mendengarkan apa-apa melalui headphone-nya, hanya saja ia tak ingin diusik orang.

Tapi kelihatannya hari ini tak ada yang berencana mengganggunya.

Kei tetap mempertahankan aktingnya sampai bel masuk kelas dibunyikan, lalu menyimpan headphone ke dalam tas. Mengeluarkan buku pelajaran Matematika seraya pandangan malas terarah pada papan tulis yang mulai bercoret kapur putih.

Ia tak terlalu perduli, toh ini pelajaran kelas satu, sebatas mengulang-ulang pelajaran dari jenjang SMP dan itupun semuanya masih melekat di otak encernya itu. Jangankan materi kelas satu, nyatanya ia cukup pintar untuk dapat menyelesaikan persoalan Matematika setingkat kelas tiga SMA.

"Tsukishima Kei-- ehm, Miyamura Nishi, kau kerjakan soal di depan," titah sang guru pada seorang anak malang bernama Miyamura Nishi yang lemah dalam Matematika, maka dengan langkah gontai ia berjalan ke depan, sebisa mungkin mengerjakan soal yang diberikan memakai rumus-rumus yang tertera, namun hasilnya nihil.

Kei mendesah dalam hati, kenapa soal semudah itu saja tak bisa?

Lagipula, kenapa bukan namanya yang dipanggil? Ah, barangkali guru itu telah bosan.
.
.
.
Bukannya ia meminta afeksi, namun yang dicarinya adalah sebuah presensi.

Tetsurou sama sekali tidak memerhatikan pelajaran dengan seksama, pikirannya kabur entah kemana, tangan kanannya sibuk memainkan bolpoin --sesekali diputar atau diketukkan ke meja-- guna menghilangkan rasa bosan.

Untung saja tak ada yang menggubris suara-suara berisiknya. Ia pernah menyaksikan seorang teman sekelasnya dilempari penghapus papan tulis oleh guru lantaran terlalu berisik, itu pasti sakit sekali-- oh, atau malu?

"Cepatlah bel pulang berbunyi, aku ingin bertemu Megane-kun," batinnya.
.
.
.
Iris kuning madunya bergulir kesana kemari, lalu menangkap keberadaan seorang lelaki berambut puding yang merupakan kakak kelasnya, lantas dipanggilnya orang tersebut, "Kozume-senpai," nyaris datar.

Tetapi panggilannya tidak diindahkan, si kucing berkepala puding melewatinya begitu saja, seakan-akan ia tidak ada di sana.

Merasa diabaikan, Kei menyerah.
.
.
.
Mentari hampir tenggelam kala itu, Kei baru selesai latihan di gymnasium bersama teman-teman satu timnya, Nekoma. Kemudian ia menjejakkan kaki di suatu tempat yang terasa familier, dengan bercak-bercak merah mengering di zebra cross dan masih terlihat tiang yang bengkok di pinggir jalan.

Oh.

Tempat dimana kemarin ia menyelamatkan seekor kucing hitam secara heroik, dengan bayaran nyawa.

Senyum pahit terulas di wajah, pemuda blonde tersebut berhenti sebentar untuk meniti kembali kondisi sekitar.

Dalam hati ia berharap bahwa ia tak pernah menyelamatkan kucing hitam itu.

Haikyuu!! - KuroTsuki [ONESHOOT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang