Sadar?

70 30 1
                                    

Hampir dua bulan berlalu, Brian dan Luna makin nempel saja, dan selama dua minggu pula, aku tidak pernah bermain bersama Brian, tak masalah sih! Masih banyak temanku yang lain, hanya saja terasa seperti ada yang berbeda, ada yang kurang, ini tidak bagus juga, Brian seperti melupakan temannya, kalo anak youth sekarang bilangnya bucin (budak cinta). Ini tentu saja bukan hal baik, karena tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi nantinya. Tetapi, dia seringkali menanyakan padaku beberapa hal, ketika dia sedang bertengkar dengan Luna. Ironis memang, aku yang jomblo memberikan saran - saranku kepada nya yang entah kenapa benar. Sepertinya aku berbakat menjadi Psikolog.

Hari Kamis, Brian tiba - tiba datang ke kelas dengan muka lesu, mengejutkan sekali, aku menduga jika dia sedang bertengkar dengan Luna, mungkin?

"Kenapa lo kusut kayak benang layangan sepupu gue?"

"Luna, Bun. Semalem kita lagi telponan, terus dia lagi curhat, gue kan ngantuk ya, eh gue ga sengaja ketiduran, eh tadi pagi chat gue di read doang, terus tadi pas gue ke kelasnya, dia belum dateng, padahal kan biasanya dia dateng pagi. Kayaknya dia marah banget deh sama gue" dia mengatakannya dengan mata sedih, kasihan.

"Yaiyalah bego banget, orang lagi curhat malah ditinggal tanpa permisi, lu juga sih, harusnya bilang aja kalo ngantuk, kan setidaknya pergi nya gak tiba - tiba gitu" aku menggelengkan kepalaku

"Ya gimana Bun, kan gue pengen dengerin suara dia terus, merdu~" ujarnya berlebihan

"Lebay lo! Jujur aja Yan, itu penting!" jawabku tegas

"Yaudah iya, terus sekarang gue harus gimana supaya dia maafin gue?"

"Nih ya, lo samperin ke kelas dia atau ajak kemana gitu ke tempat yang damai yang sekiranya gabakal ada orang yang menginterupsi elo, terus lo omongin semuanya, sekalian uneg - uneg lo yang kemarin, semuanya Yan, biar kelar, abis itu lo minta maaf, terus ajak dia makan deh!"

"Ngomong mah gampang Bun, kalo dia gamau gimana?"

"Ya lo ajak baik - baik lah, dia pasti mau" kataku mencoba meyakinkan

"Okey, makasiii Bundaku" ujarnya sambil merentangkan tangan seolah ingin memeluk

"Sialan!" Aku melarikan diri

Begitu terus, selama hampir tiga bulan, aku seperti penasihat hubungan mereka. Suatu hari, Ahdin, temanku, ia adalah orang yang baik, sabra, dan agak penurut, dan sangat fanatik dengan Jerman. Mimpinya adalah bias tinggal di jerman. Entahlah. Dia bertanya padaku

"Lo jadi kayak Penasihat hubungan orang deh, Bun, si Brian juga dateng ke elo kalo dibutuhin doang, lo gak capek?"

Pertanyaannya cukup mengusikku, aku melakukan ini karena aku.... Tiba - tiba aku tersadar, iya juga ya? Tiba - tiba aku merasa marah pada Brian, selama ini aku selalu ada untuknya, tapi dia sebagai teman tidak pernah menjadi seperti diriku kepadanya, aku merasa menjadi babu, sialan.

Ucapan Ahdin terus menghantuiku, membuatku berpikir, apa benar begitu? Dilihat dari kelakuannya sih memang begitu, aku mencoba cuek sekarang.

Bun, kok lo gak jawab line gue sih kemarin?"

"Ketiduran gue" jawabku agak ketus

"Dih sensi, dateng tamu bulanan lo?"

Aku tak menjawabnya, dia mencoba biasa saja. Semakin lama, Brian makin merasa aneh dengan sikapku, dan selalu saja tiap dia bertanya aku kenapa aku selalu menjawab gapapa. Aku tidak tega sebenarnya, jujur saja, tapi aku terus memikirkan perkataan Ahdin dan sesuatu yang aneh, aku mulai memikirkan yang tidak - tidak, seketika terlintas pemikiran bahwa aku menyukai Brian, atau mungkin mencintainya? Ah sialan, tidak mungkin, tapi, bisa saja terjadi, tapi jika aku jatuh cinta, kenapa aku membantunya jadian dengan Luna? Bahkan aku memberikan saran ketika mereka bertengkar, tapi... apa aku benar - benar mencintainya? Aku semakin bingung dan semakin tidak ingin bertemu dengan Brian, ini menyiksaku

"Bun lo kenapa sih, akhir - akhir ini tiap gue chat slow respond terus, bahkan gak dibales, gue ada buat salah ya sama lo?" Tanya brian

"Enggak kok yan, everything are fine" aku menghindari kontak mata

"Tuh, lo bahkan gamau liat gue, ada apa bun, cerita aja sama gue" ujar brian meyakinkan

Aku tidak mau mengakuinya, aku akan mencoba memendam perasaanku, rasanya aneh menyukai Brian, aku tidak mau menghancurkan hubungan persahabatan ku dengannya yang sudah terjalin cukup lama, aku tidak mau jadi seegois ini, lagipula, akulah yang membantunya jadian dengan Luna, itu semua aku lakukan dengan sadar. Tapi.... Itu sebelum aku menyadari kalau aku menyukainya, astaga, inilah kenapa aku benci perasaan, semua jadi terlihat rumit jika sudah disangkut pautkan dengan perasaan.

"Gapapa kok yan" jawabku mencoba meyakinkan sambil menatap matanya

"Lo temen gue Buna, cerita aja kalo ada apa - apa, maafin gue ya kalo gue ada salah"

Ucapannya menghantam sesuatu dalam diriku, temen, harusnya aku sadar kalo aku hanya dianggap teman oleh dirinya, tidak lebih, tapi kenapa ini terasa sangat menyakitkan? Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat ini, aku tidak tahu apa yang sebenarnya aku inginkan, semua terasa membingungkan, aku tersesat dalam hutan pikiranku sendiri. Ini menyiksa, sungguh!

BunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang