Sahabat Hidupku. 1

8K 947 175
                                    

Kalau Mas serius, adek tunggu diakhir juz 30.

Mata-mata untuk mencari informasi mengenai murid perempuan yang berhasil mencuri perhatian Hanafi tidaklah sia-sia. Ternyata dia adalah murid kelas XI yang baru saja pindahan dari sekolah Islam Sabilillah di Malang, Jawa Timur.

Hanafi cukup kaget saat mengetahui informasi tersebut. Bagaimana bisa murid yang sebelumnya bersekolah di sebuah asrama Islam masuk ke sekolah swasta yang istilahnya minim dalam urusan agama.

Karena rasa penasaran itu, tepat jam istirahat tiba Hanafi terburu-buru keluar dari kelasnya dan langsung menuju ke kelas murid perempuan yang sejak kemarin ini sudah mengusik hidupnya.

"Inez... " panggil Hanafi kencang.

Hampir saja dia terlambat menemui gadis itu. Karena dari yang Hanafi lihat, ia seperti terburu-buru menuju suatu tempat.

Sempat kaget namanya dipanggil, ia berbalik. Melihat ke arah Hanafi yang masih terengah-engah karena harus menaiki anak tangga untuk sampai ke kelas gadis ini.

"Maaf," ucapnya pelan.

Dengan ekspresi malu-malu, Hanafi berjalan mendekatinya. Mengunci pandangan mata bulat itu. Sampai akhirnya gadis itulah yang mengalah.

"Benar kan namanya Inez?" tegur Hanafi ketika jarak mereka semakin dekat.

"Akh, iya." satu langkah mundur dia ambil sebagai antisipasi jika saja Hanafi melakukan sesuatu yang dapat merugikannya.

"Oh, tenang-tenang. Gue nggak akan... " hampir saja tangan Hanafi menyentuh lengan Inez jika saja ia tidak menghindar.

"Maaf Mas, tidak usah dekat-dekat."

"Oke. Gue ke sini cuma mau kenalan aja, boleh kan?" tanya Hanafi terus terang.

Beberapa murid yang baru keluar dari kelas yang berada di dekatnya mulai berbisik-bisik. Banyak yang mengenal siapa Hanafi. Tapi mereka semua merasa aneh jika Hanafi mendekati murid perempuan dengan tampilan yang begitu berbeda dengan murid perempuan lainnya.

Jika murid SMA berlomba-lomba memotong pendek rok sekolahnya, gadis ini malah memilih memakai rok  lebar dan panjang sebatas mata kakinya. Kemeja sekolah yang dia pilih pun berbeda. Kemeja itu panjang, dan terlihat kebesaran di tubuhnya. Namun yang paling mencolok di antara segalanya, yakni kerudung putih yang menutupi kepalanya sangat lebar dan panjang. Karena ciri mencolok itulah yang membuat seorang Mustafa Hanafi langsung tertarik padanya.

"Boleh kok Mas, nama saya Inez."

"Ah, itu mah gue juga tahu. Inez Haura Sakhi kan? Apa perlu tanggal lahirnya gue sebut juga?" tanya Hanafi cekikikan.

Inez menaikkan kedua alisnya bingung. "Mas cari tahu tentang saya?"

"Eh, ketahuan deh. Kebetulan aja tahu. Lihat contekan daftar absen dari ruang guru," cengir Hanafi malu-malu.

"Oh, begitu. Lain kali nggak usah begitu, Mas. Kalau mau cari tahu tentang aku, bisa tanya ke Ayahku langsung. Dari pada dapat info yang tidak akurat."

"Wah, boleh nih ke rumah Inez?"

"Boleh kok. Kalau tujuannya baik, kenapa tidak. Ayah pasti senang ada laki-laki yang datang untuk bertukar proposal," jawabnya sambil tersenyum manis.

"Proposal?" ulang Hanafi tidaklah paham.

"Iya. Proposal data diri untuk ta'aruf kan? Tapi kalau boleh tahu, Masnya ikut dalam liqo apa ya dan di mana? Kebetulan saya baru ini tinggal di Jakarta. Jadi belum tahu tempatnya."

Mulut Hanafi terbuka lebar ketika mendengar kata ta'aruf disebut oleh Inez. Padahal mereka baru sekali ini saling berbicara, mengapa topiknya langsung ke arah sana.

Sahabat HidupkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang