Sahabat Hidupku. 4

4.4K 676 86
                                    

Kau terlalu dekat, tapi bodohnya aku tak berani dalam menggenggammu.

Keempat teman Hanafi tertawa geli mendengar cerita kepolosan mengenai si syafa yang Hanafi pikir murid di sekolah ini juga.

"Dari awal kan gue bilang, jangan sok kegantengan deh loh. Pakai tandai tuh cewek segala. Kena kan," sahut Bagas yang pikirannya cukup bijak selain dari Basuki.

Iwan mencibir. Hobby mereka berkumpul di rumah Hanafi yang biasanya dijadikan kegiatan untuk bermain game online kini berubah haluan menjadi gosip-gosip cantik layaknya remaja perempuan.

"Taruhan sama gue, si Inez itu kelihatan alim kalau di sekolah aja. Coba cek di rumahnya. Paling kesenangannya cuma pakai celana pendek doang. Yah, dari yang gue tahu cewek kayak Inez itu banyak. Di sekolah pakai kerudung, di rumah boxeran doang."

"Bisa jadi sih," sahut Hakim menyetujui. Pikirnya Iwan berkata demikian atas fakta-fakta yang terjadi di sekitar mereka. Bukan satu dua orang yang menjadi contohnya. Tapi banyak. Dan itulah yang membuat mereka berpikir, Inez pun sama seperti yang lainnya.

"Masa sih? Dia kan pindahan dari pesantren gitu?" tanya Basuki tak yakin.

"Heh, pesantren itu nggak jaminan. Sekarang gue tanya balik deh, itu si Hanafi kakeknya Cina. Emaknya dulu itu agamanya Budha. Pas ketemu sama Bapaknya. Nikah. Eh, pindah keyakinan kan. Dan untungnya si Hanafi nggak kebawa arus pindah agama yang aneh-aneh."

"Setuju," lagi-lagi Hakim menyetujui kalimat Iwan yang paling benar menurutnya. Selama hampir 3 tahun mereka berteman, sekarang inilah Iwan berkomentar yang paling bijak.

"Benar juga apa yang Iwan bilang, anak ustad belum tentu anaknya jadi ustad juga. Dan anak preman belum tentu anaknya nggak bisa jadi ustad. Semua itu pilihan hidup. Lo mau kayak gimana, itu keputusan lo sama Tuhan. Teman, sahabat, bahkan keluarga sekalipun nggak berhak larang-larang. Karena keyakinan itu pilihan dari hati." sambung Bagas menyetujui juga.

"Terus menurut kalian gue harus mata-matain sampai ke rumahnya?"

"Jangan!!!" seru Basuki paling cepat. "Lo Syafakillah aja nggak tahu, berani-berani ke rumahnya. Iya kalau dia kayak yang kita bilang tadi. Kalau nggak. Modar lo. Dibalikin ke neraka langsung,"

"Sial lo. Terus gue harus gimana?"

Keempat sahabatnya kompak diam. Kalau ditanya soal saran, semuanya memang tidak ada yang bisa diandalkan. Jangankan untuk memberikan saran atas kehidupan orang lain, kehidupan mereka masing-masing saja masih jauh dari kata sempurna. Baik soal keluarga atau soal agama.

"Kalau ini kelemahan satu-satunya gue," suara Iwan lelah. Menutup wajahnya dengan bantal tidur Hanafi.

"Ini juga gue nyerah," sahut Hakim mengekori.

"Gas, Bas, gimana?" tanya Hanafi kebingungan.

"Nggak tahu, gue bingung. Image lo di mata Inez udah hancur lebur. Masalahnya hal sederhana aja lo nggak paham, apalagi masalah hatinya. Jangan dulu ngomongin agama deh, ngomongin kesukaannya aja lo pasti nggak paham kan," suara Bagas mengeluarkan segala hal yang ada dipikirannya.

Hanafi langsung mendesah sedih. Kepalanya dia tidurkan di atas meja bundar kecil yang memang ada di dalam kamarnya.

"Kalau Bokap gue bisa taklukin nyokap gue yang beda agama. Kenapa gue nggak bisa? Bukannya kita sama-sama satu keyakinan?"

"BEDA....!!!!" Teriak keempat sahabatnya kompak. "Lo yakin sama Inez, sedangkan dia kagak akan pernah yakin sama lo,"

"Wagelas, ngeselin semua lo. Keluar dari kamar gue sekarang!!!"

Sahabat HidupkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang