chapter 4: rendra dinata surya

9.3K 1.4K 76
                                    

"di umur 19 kamu menyadari bahwa ada hal yang lebih penting dibanding ambisi."

Kalau orang-orang berkumpul ke kafe untuk mengobrol, Rendra sebaliknya, kafe adalah tempat pelarian. Ketika orang-orang tidak mengerti apa yang ada dalam pikiran Rendra, tempat ini selalu mengerti. Bukan gimana-gimana, sih, cuma, jalan pikiran Rendra itu unik. Contohnya saja ketika dia melihat kumbang di jendela kelas saat mata kuliah berlangsung, langsung terlukis di bayangannya bagaimana cara Rendra menggambar kumbang itu. Dengan latar yang seperti apa? Apakah kumbangnya memiliki keluarga dan teman? Oh, oh, oh, apakah kumbangnya bisa berbicara?

Nah.

Mungkin kau sudah mengerti betapa uniknya Rendra.

Seperti hari yang berhujan ini, Rendra menuju kafe dekat kampus untuk membunuh waktu karena kelas berikutnya dimulai jam tiga sore.

Iya. Kalau di kampus, kamu sangat berkemungkinan di hari yang sama dapat jadwal kelas pagi dan sore. Jadi, siangnya kamu gabut, bosan, gak ada kerjaan. Kecuali kamu banyak teman atau punya organisasi atau ukm yang harus diurus. Sayangnya, Rendra gak punya banyak teman dan juga gak punya organisasi.

Suasana kafe sedang padat-padatnya. Mungkin karena hujan, banyak orang yang ingin berteduh dan menikmati secangkir kopi hangat. Syukurnya, Rendra masih dapat tempat di dekat jendela berpemandangan rintik hujan. Rendra menaruh barang-barangnya di sana dan kembali ke kasir untuk memesan minuman. Sejurus kemudian, Rendra sudah duduk di kursinya, dengan buku sketsa dan pensil di atas meja, siap menggambar tentang kumbang yang tadi ia temui di kelas pagi.

Tadinya, Rendra berpikir hari ini akan ia lalui seperti hari-hari biasanya seorang Rendra Dinata Surya.

Tapi, tidak.

Hari ini ada hal baru dalam hidup Rendra. Yang mungkin, mengisi hari-hari Rendra yang selanjutnya.

"Um..., sorry," seorang perempuan berambut lurus panjang dengan mata tajam itu membuat Rendra langsung mendongak ketika mendengar suaranya. Perempuan itu membawa nampan dengan minuman dan donat di atasnya. "Gue boleh duduk di sini? Tempat yang lain penuh. Kalo lo gak keberatan."

Rendra lantas menyapu pandangan ke sekitar. Memang sudah penuh, semua bangku sudah terisi. Rendra kembali menatap perempuan itu, lalu mengangguk.

Perempuan itu mengucapkan terima kasih dengan sangat pelan dan duduk di hadapan Rendra.

Tiba-tiba, kumbang di bayangan Rendra buyar. Tergantikan dengan figur perempuan di hadapannya. Definisi seseorang yang kalian perlu melihat dua kali untuk memastikan, entah memastikan apa.

Perempuan itu kini makan donat dengan pipi menggembung. Kemudian ketika menyadari tatapan Rendra, perempuan itu lantas menatap balik. Rendra yang rasanya jantungnya sekarang melorot ke lantai kafe, langsung menatap buku sketsanya dan mulai menggambar.

Tangan Rendra gemetar.

Tadi dia mau menggambar apa ya?

Oiya.

Kumbang.

Kumbang.

Kok Rendra bisa lupa gini, sih?

"KAK LANA?" suara agak mengganggu itu terdengar tak jauh dari meja Rendra. Benar saja. Dua orang perempuan berseragam putih abu kini mengerubungi perempuan di hadapan Rendra. "Beneran Kak Lana, kan?"

Perempuan itu tampak agak terkejut awalnya, tapi semudah itu memainkan mimik ekspresi. "Iya. Halo," ucapnya seraya berdiri.

"Aku nge-fans banget sama Kak Lana..., ngikutin Kakak dari masih di Soundcloud sampe sekarang," ucap salah satu dari mereka yang berseragam putih abu dengan mata berbinar-binar, sama persis seperti ketika Rendra melihat kumbang di kelas pagi itu—penuh inspirasi dan kesenangan.

di umur 19Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang