"di umur 19 kamu menyadari bahwa tidak ada waktu untuk main-main lagi. apalagi, main perasaan."AMA terbangun dengan tepukan pelan di pipinya.
"Bangun, Na. Udah sampe," sahut-sahut suara managernya, Mama Onel, menelusup telinga Ama yang sedang mengenakan earphone.
Ama mengucek matanya seraya menegakkan posisi duduk di mobil yang membawanya ke acara penghargaan musik malam ini. Terlihat Mama Onel yang sedang sibuk mengatur perlengkapan Ama di bangku belakang. Ama mencari ponselnya yang entah bersemayam di mana, dan ketika menemukannya terselip di tas, Ama langsung mengecek pesan.
Ara: Lo di manaaa?
Ara: Ngebo lagi ya lo di mobil???
Ara: WOIIII, gue udah sampe nih
Ara: Lo gak lagi bete sama gue kan
Ara: Ama!
Lalu sederet huruf P dikirim puluhan kali oleh Ara, rekan penyanyi sekaligus teman dekatnya. Ama tersenyum melihat pesan-pesan itu. Entah kenapa, sikap petakilan dan cerewetnya Ara membuat Ama merasa lebih hidup dan tidak sendirian. Ama yang diam dan Ara yang cerewet. Dari sejak pertama mereka berdua masuk di agensi yang sama, keduanya tidak pernah terpisahkan.
Ama mengetikkan balasan untuk Ara, karena yah, temannya itu ribut lagi karena Ama hanya membaca pesannya tanpa sempat menjawab.
Ama: Iya.
Ara: Gue ngomong panjang kali lebar kali tinggi terus dikuadratin abis itu dikasih pangkat tiga, cuma dibales 'Iya' doang. Cukstaw.
Ama: Di mana?
Ara: Bd amat males jawab
Ama: Oke.
"Na, udah bangun?" suara Mama Onel diiringi dengan pintu mobil yang terbuka. Mama Onel melihat Ama yang asyik main ponsel dengan sedikit jengkel. "Atuh, ayo cepetan. Meuni lila pisan."
Ama meminta maaf sambil dirinya sibuk mengambil barang-barang yang berserakan di mobil dan dimasukkan ke dalam tas ranselnya. Ama juga membawa serta setumpuk tugas untuk ia kerjakan di kala senggang. UTS sebentar lagi, dan Ama juga perlu belajar, kan?
Ama bergegas mengikuti Mama Onel ke ruang persiapan. Karena Ama belum bersiap-siap dari kampus, maka Ama harus ke ruang persiapan terlebih dahulu sebelum menyapa di karpet merah. Di sana, tentu saja, Ara sudah menunggu dengan tangan terlipat. Teman seperjuangannya itu sudah cantik menggunakan gaun berwarna ungu dengan rambut sebahu yang diurai sedemikian rupa.
"Masih pake kaos sama celana jins. Muka bantal. Bawa tas ransel gede. Fix lo udah kayak mahasiswi abadi, tau gak," komentar Ara. "Sini gue bantu hairstyle rambut lo."
Ama nyengir. "Thanks."
Butuh waktu sekitar satu jam untuk Mama Onel, Ara, dan penata riasnya dalam mempercantik penampilan Ama malam ini. Mama Onel mempersiapkan gaun yang sudah dipilih jauh-jauh hari—gaun warna merah muda, aksesorinya, dan me-crosscheck aksesori dari sponsor mana yang belum tersemat di penampilan Ama. Ara membantu menata rambutnya, kali ini, Ara ingin menyanggul rambut Ama, dan Ama memperbolehkan Ara menata rambut Ama sesukanya. Sementara penata rias, seperti biasa, bertugas membuat penampilan Ama senatural mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
di umur 19
RomanceSendirian. Ama sudah terbiasa. Sejak setahun yang lalu dirinya gagal masuk universitas, Ama jadi mengerti kalau dunia sehabis SMA itu benar-benar beda dari yang ia bayangkan. Ama mulai mendapat pertanyaan: "Kapan punya pacar?" (Ama selalu jawab, gak...