chapter 10: berenam

6.2K 913 63
                                    


▶️ the vamps - on your mind

"di umur 19 kamu menyadari bahwa teman-temanmu semakin lama, semakin sedikit."

MATA Ama terbuka perlahan. Kepalanya pusing seperti dipukul berkali-kali. Awalnya semua buram, hingga dirinya berhasil melihat Depha di sisinya, sedang duduk memainkan ponsel. Menyadari Ama siuman, Depha menurunkan ponselnya.

"Gue kenapa?" tanya Ama dengan suara parau.

"Tadi lo pingsan," jawab Depha. "Tepat pas lo nanya kenapa gue sama Ara ke sini."

"Oh."

Ruangan diisi keheningan canggung.

"Ada yang bisa gue bantu?" tanya Depha.

"Tolong ambil minum."

"Oke."

Depha ke luar kamar dan tak lama kemudian kembali dengan segelas air di tangannya. Meski pusing, dari arah pintu kamar, Ama masih bisa mendengar bisingnya obrolan orang-orang.

Ama terduduk dan mengambil minum yang disodorkan Depha. Menyeruputnya. Tenggorokan keringnya terasa sangat segar.

"Bunda sama adek-adek udah pulang?" tanya Ama.

Depha menoleh ke belakang, lalu melihat ke arah Ama dengan bingung. "Bukan Bunda."

"Hah? Terus siapa?"

Depha menatap Ama dalam-dalam, membuat Ama salah tingkah dan memilih melihat ke arah jendela kamar. Sudah gelap.

"Temen-temen kampus lo?"

Entah itu jawaban atau pertanyaan.

Ama menautkan alis, berusaha sebisa mungkin turun dari tempat tidur. Depha berdiri canggung, ingin membantu, namun dirinya tahu batasan. Akhirnya hanya bisa menyodorkan kruk ke arah Ama.

"Gak mau gue bantu?" tanya Depha kikuk.

Ama menggeleng.

Ketika Ama berjalan ke luar kamar, Depha menahan dengan memanggilnya.

"Ma."

Ama tahu, sangat amat tahu suara Depha bisa membuat dirinya memaafkan semudah itu, dan merapalkan dalam hati bahwa Depha akan berubah. Dan, ternyata, Ama selalu dikecewakan.

"Apa lagi, Deph?" tanya Ama, suaranya tajam dan bergetar. "Apa?"

"Gue serius sayang sama lo," ucap Depha.

"Lo tau gue gak bisa?" Ama mendengus gusar. Dia berbalik, menatap Depha tajam. "Jangan egois."

"Lo tau perasaan gue, makanya lo menghindar," suara Depha lebih bergetar dibanding Ama, seolah pertahanan dan emosi yang ia tahan, ternyata akhirnya bisa tumpah ruah. "Kenapa gak dicoba dulu?"

"Seharusnya lo yang paling ngerti posisi gue sekarang!" suara Ama naik satu oktaf, bulir air mata mendesak ke luar.

"Gue yang paling ngerti maka dari itu gue tau kalo lo juga suka sama gue! Kenapa lo menghindar?" tanya Depha.

"Karena lo Depha Alkantara," Ama menatap Depha seolah melihat hantu, dan itu membuat Depha ingin sekali meninju sesuatu. "Gak akan bisa sama gue."

"Persetan sama Depha Alkantara," kata Depha tajam. "Persetan sama semua orang, gue sayang lo."

Tok, tok, tok.

Ketukan itu menyurutkan suasana intens di antara mereka. Ama yang pertama berjalan untuk membuka pintu–sambil menyeka air mata yang tersisa di sekitar pipi, ternyata Ara, dengan senyum lebar tanpa bebannya.

"Kok gak bilang-bilang sih lo punya temen baru?" tanya Ara langsung.

"Hah?"

Ada apa, sih? Gue mau tidur, tau gak?

Ara membimbing Ama menuju ruang keluarga. Tepat seperti ucapan Depha, teman-teman kampusnya di sana, duduk di sofa empuk beludru merah. Ada Rendra, Tari, dan Setyo.

Ama mengerjapkan mata. Matanya langsung menelusuri baju yang ia pakai dan pipinya memerah bak kepiting rebus. Ama mengenakan daster bunga-bunga kebangsaannya.

"Eh, Am–"

Prang!

Rendra bangkit dari posisi duduk dengan canggung membuat tangannya menyenggol vas bunga hingga terpecah. Ara memekik dan Tari buru-buru membantu Rendra agar pecahan beling tidak mengenai kakinya. Sementara Depha membawakan dua bangku untuk Ama dan dirinya duduk.

"Eh, sorry!" ucap Rendra dengan wajah pucat pasi. "Sorry, sorry, sorry, gak lihat."

"Segede gaban gitu gak liat," gumam Depha sebal, melihat Ama memicingkan mata ke arahnya, Depha berdecak, "Iya, iya."

Setyo membantu Tari mencarikan sapu di dapur. Suasana ruang keluarga Ama mendadak ramai, tak biasa, tapi entah kenapa ada rasa nyaman dalam hati Ama, membuat sejenak melupakan daster bunga-bunganya.

"Oke, ulang dari awal," suara Ara mengomando ketika tragedi vas bunga selesai, membuat Ama bertanya-tanya apakah mereka sedang latihan pentas drama.

"Hei, Ma," sapa Rendra dengan senyum malu-malu. "Hari ini gue mau jenguk sesuai janji, terus–"

"–Terus gue ikut karena sempet ngobrol sama Rendra di kafe biasa—Depha mengerutkan alisnya, kafe biasa? Kafe yang mana?—tempat lo ketemu dia dan dia bilang mau jenguk lo dan gue nanya emang lo sakit apa dan kalo gak salah kita sejurusan jadi gue ikut jenguk," Setyo menjelaskan panjang lebar. "Lekas sembuh, ya."

"Makasih," suara Ama lebih seperti bisikan dibanding ucapan.

"Dan gue bawain lo catetan minggu kemarin sama ngajarin ketertinggalan lo sama gue bawa martabak telor keju," lanjut Tari.

Kemudian hening yang canggung.

Kemudian setetes air mata meluncur begitu saja mendobrak segala pertahanan diri Ama. Mata Depha melebar, "Ma?"

"Uh-huh, kenapa gue nangis?" tanya Ama, tapi suara yang ia keluarkan malah membuat tangisnya makin kencang.

"Yah, Ama...," ucap Ara. "Lo gak apa-ap–hah!? Bego banget pertanyaan gue! Ya lo pasti apa-apa lah! Sini, sini."

Ara bergerak mendekati Ama dan memeluknya. Tangis Ama semakin menjadi-jadi.

"Makasih ya udah dateng, semuanya," ucap Ama di sela-sela tangisnya. "Makasih."

🍂🍂🍂

Maaf aku baru update, semoga suka chapter ini!

di umur 19Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang