Tiga - Ingatan

14 1 0
                                    

Lelaki itu benar-benar tidak punya sedotan untuk makan siang hari ini.

Eira mati-matian menjauhkan kuah sup hangat yang selalu mencoba menyentuh luka di bibir dalamnya. Makanannya benar-benar terasa err── hambar? Sama sekali tidak ada penyedap rasa, garam, gula, atau apapun itu. Eira pikir, mungkin lelaki ini mencabut wortel dari kebun belakang dan langsung merebusnya dengan air mendidih. Sangat-sangat alami.

Eira menselonjorkan kakinya di atas ranjang. Dia sudah memiliki kamar sendiri disini. Kecil tapi sangat nyaman. Ada jendela sangat besar di sisi tembok yang menampilkan langsung kebun belakang dan hutan rimbun.

Ia memejamkan mata sejenak. Bayang-bayang wajah marah ayahnya tiba-tiba terlintas.

"Anak gila!"

"Ngeyel. Keras kepala!"

"Anak sialan!"

"ANAK BANGSAT!"

"BERHENTI!!" Gadis itu terjatuh dari ranjang. Ia memukul-mukul telinganya agar umpatan segera menghilang. Matanya menangkap vas bunga kaca yang dijadikan hiasan di atas nakas. Ia langsung mengambilnya dan memecahkannya.

Prang!

"AKHH!!"

Masa bodo. Eira hanya tidak mau mendengar suara ayahnya yang terus menghantui. Dia bahkan menahan sakit ketika ia mencoba mengiris daun telinganya sendiri dengan pecahan kaca.

"Apa yang kau lakukan?!"

Pintu kamar terbuka. Menampilkan seorang lelaki yang menatapnya kalap. Tangan Eira yang mencoba memotong daun telinganya sendiri terhempas begitu saja saat lelaki itu menjauhkan pecahan kaca. Tubuh Eira terangkat saat sepasang tangan melingkari bahunya. Memeluknya erat hingga gadis itu bisa merasakan degub jantung seseorang yang berdetak cepat.

"Kumohon berhenti," Eira terisak. Ia menenggelamkan wajahnya pada dada lelaki ini. Mengabaikan darah yang terus mengalir dari telinga kanannya, merembes turun melewati leher hingga mencapai bahu. []

LostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang