01. in the rain

1K 132 10
                                    

Hujan mengguyur hampir sebagian besar kota Seoul, basah, dingin, dan bisingnya rintik hujan yang beradu dengan permukaan bumi. Rasa-rasanya Sehun sudah terlalu terbiasa dengan semua ituㅡhujanㅡdi seberang jalan sana, sebuah Cafe berdiri kokoh dengan orang-orang yang duduk di dalamnya di setiap sudut kursi, menggoda Sehun untuk datang ke tempat tersebut. Membayangkan betapa hangatnya jika berada di sana, dengan satu cangkir kopi yang masih mengepul dalam genggaman.

Lalu, ingatan Sehun mengembara kembali ke masa di mana ia pernah mengabdikan hidupnya di bangunan yang di namakan Cafeㅡbekerja sebagai pelayan. Bukan ingatan yang bagus, baru satu minggu bekerja, Sehun sudah mendapatkan cacian di hari ke sembilan bekerja. Ketika dirinya tidak sengaja menumpahkan satu kopi panas pada seorang pria paruh baya yang mengenakan setelan jas mahal.

Mungkin beberapa tahun lalu? Saat itu Sehun masih berada di bangku sekolah menengah atas, pekerjaan paruh waktu di sela-sela belajar. Yang bahkan tidak bertahan lama, jelas sekali pekerjaan seperti itu tidak cocok untuk ukuran Sehunㅡtidak berpengalaman.

Sepuluh menit, selama itu pula Sehun hanya duduk di kursi halte. Memerhatikan kendaraan yang berlalu-lalang, ataupun orang-orang yang datang dan pergi dari Cafe di seberang jalan sana.

Setelah hujan benar-benar mereda, langkah kaki Sehun mulai merajut meninggalkan tempatnya semula. Mengeratkan setelan hitam yang membalut tubuh tegapnya, menghalau serangan udara dingin yang menusuk.

Malam sudah terlalu larut, tidak ada bus maupun taksi, jadi terpaksa Sehun harus rela berjalan kaki sampai rumah, yang jaraknya cukup lumayan jauh.

Namun, Sehun merasa itu baik-baik saja. Sehun butuh waktu, untuk sekedar menghirup udara segar setelah seharian penuh duduk di balik layar komputer, meninjau ini-itu tanpa habis-habis. Sehun agaknya merutuki dirinya yang pagi tadi memilih tidak membawa mobil sendiri.

Suara anjing menyalak menemani perjalanan Sehun menuju rumah, di tengah keheningan malam. Sebenarnya baru kali ini Sehun berjalan dari kantor ke rumah, ternyata tidak seburuk itu.

Tepat ketika Sehun sampai di halaman rumahnya, sekitar dua puluh menit sejak Sehun meninggalkan halte bis di dekat kantor. Perjalanan yang cukup panjang.

Iris tajam Sehun memandangi rumah besar yang berdiri di hadapannya, lampu rumah tidak menyala. Lelaki Oh itu mendengus pelan, sebelum kemudian kembali melangkah.

Ketika memasuki rumah, penerangan di hidup kan. Maniknya menelisik ruang tamunya yang terlihat lengang tak berpenghuni.

"Kenapa dia selalu bekerja terlalu keras. " bisik Sehun, berjalan menuju lantai atas.

Pintu kamar di dekat tangga yang tertutup rapat mengusik Sehun untuk beberapa saat, tepat ketika ia menginjakkan kakinya di tangga ke tiga.

Namun, suara pintu utama yang terbuka membuat Sehun mengurungkan niatnya untuk melanjutkannya langkahnya. Berbalik, bersiap memarahi sosok yang kini berjalan ke arahnya karena lagi-lagi tidak berada di rumah ketika ia kembali dari kantor.

"Jadi, istriku ini lebih memilih mendekam di tempat kerjanya, daripada duduk cantik di rumah, menunggu suaminya pulang? " sindir Sehun, menatap tidak habis pikir pada wanita yang sudah berdiri di ujung tangga bawah sana.

Sosok itu hanya berdehem pelan, tersenyum lebar terpaksa. "Maaf. " sesalnya.

Sehun bersedekap dada, kembali menuruni tangga, guna melihat lebih jelas paras kelelahan dari wajah Sara. "Kau selalu mengatakan itu, Han Sara. Tapi kau selalu melakukan kesalahanmu lagi di lain hari."

Sara bungkam, tidak terlihat mengelak ataupun menyangkal. Karena apa yang Sehun katakan, semuanya benar. Sara selalu membuat Sehun kesal, terlalu sibuk dengan pekerjaannya.

It Ain't MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang