Amia benci kegagalan, dan sepanjang hidupnya memusuhi kekalahan.
Terlahir sebagai putri tunggal kaya raya dan menjalani hidup layaknya nona muda yang bisa melakukan apapun yang ia suka, Amia terbiasa menganggap seolah-olah dunia berada di dalam genggamannya. Perintahnya merupakan sebuah keharusan dan keinginannya mutlak untuk didapatkan.
Amia suka menjadi yang pertama, adalah wajib baginya untuk bisa mewujudkannya. Amia senang saat namanya bertengger di posisi teratas dan keluar sebagai pemenang, maka tak boleh ada celah bernama kekalahan yang hadir sebagai penghalang. Amia harus selalu berdiri di puncak untuk menjadi kebanggaan mama dan papa.
"Alvaro peringkat pertama lagi, ya?"
"Udah ketebak, sih. Seantero SMA Galaksi, belum ada yang bisa ngegeser posisinya doi!"
"Lo udah lihat nilai rata-ratanya dia? Amia Ganendra yang katanya punya jadwal bimbel padat sampai punya guru privat aja masih kalah jauh."
"Bukannya mereka satu kelas? Selama dua tahun berturut-turut, nama Amia Ganendra selalu berada di peringkat kedua."
Amia mengepalkan tangan kuat-kuat, merasakan kuku-kuku jemarinya melukai telapak tangan yang nantinya akan meninggalkan bekas luka berdarah-darah. Rahangnya mengeras dengan bibir terkatup rapat, menelan bulat-bulat kemarahan menggelegak atas bisik-bisik di sekitar yang diam-diam membicarakannya. Pandangan Amia nyalang menusuk ke depan, menatap pada daftar peringkat paralel kelas XI A semester genap yang tertempel besar di papan buletin sekolah. Untuk kedua tahun berturut-turut, lagi-lagi bukan namanya yang keluar sebagai pemenang.
"Ini pasti ironi." Aria Senjana—-satu-satunya siswi yang mau berinteraksi dengan Amia—-melirik dengan seringaian samar. "Amia Ganendra yang berambisi berdiri di puncak tertinggi harus menerima kekalahan lagi."
Amia menoleh, sorot matanya tajam menumbuk Aria yang berdiri congkak di sampingnya dengan tangan terlipat di depan dada. "Gue belum kalah," katanya berbisik rendah.
Sudut bibir Aria berkedut, terkekeh geli. "Bukan nama lo yang berada di posisi pertama, Nona Muda. Bangun, lo lagi-lagi kalah dari rakyat jelata!"
Dada Amia bergemuruh hebat, amarahnya bergejolak. "Tutup mulut lo sebelum gue buat hidup lo terlibat dalam masalah!"
Tawa Aria pecah tanpa bisa dicegah, gadis itu bahkan berlagak mengusap ujung matanya dengan selintas kerlingan jenaka. "Amia, satu-satunya masalah lo adalah cowok lusuh yang berada di sana," ucapnya dengan dagu terangkat menunjuk presensi Alvaro Alvarendra.
Cowok itu berdiri di sana—-di tengah lapangan olahraga dengan terik sinar matahari membakar kulit putih pucatnya. Rambutnya yang sekelam malam tampak berantakan bersama keringat membasah wajah, kemeja putihnya bahkan dipakai dengan urakan. Bibirnya yang penuh membentuk senyuman menawan saat sorakan teman sekelasnya bergema kala satu gol berhasil dicetak, lagi-lagi ke padanya kemenangan berpihak.
Untuk sesaat, tatap Amia tak berpaling dari sosok tinggi tegap itu yang terlihat asyik bercanda dengan seorang sahabatnya. Mata Amia terkunci, mempelajari bagaimana bibirnya melengkung indah di antara garis rahangnya yang sempurna. Lalu, netra cokelat terang itu menemukan Amia. Tungkai-tungkainya yang panjang melangkah mendekat, Amia terdiam di tempat dengan sorot mata setia melekat. Aroma mint bercampur keringat menyusup ke indra penciuman Amia namun, sosok itu melewatinya begitu saja seolah-olah Amia tak pernah terlihat.
"Ini benar-benar ironi." Tersenyum jemawa, Aria berkomentar tanpa dipinta, "Sepertinya, nona muda Amia udah enggak menarik lagi."
Kemarahan dalam diri Amia meledak. Amia benci kegagalan, tak menyukai kekalahan dan cukup muak diabaikan. Sepanjang hidupnya, Amia selalu berada di puncak. Segala tindak tanduknya kerap menjadi sorotan seakan-akan ia mengendalikan seluruh pusat perhatian. Namun, Amia punya masalah yang membuatnya tidak bisa merangkak ke posisi tertinggi SMA Galaksi.
Sang pemegang peringkat pertama paralel, masalah itu bernama Alvaro Alvarendra.
✳️✳️✳️
"Kamu gagal lagi, Amia."
Kalimat bernada rendah itu membuat Amia mencengkeram sendoknya erat-erat, tenggorokannya yang mendadak tersekat dipaksa untuk menelan makanan bulat-bulat. Amia tahu posisinya kini sedang berada di ambang sekarat.
"Ini sudah dua tahun, dan kamu masih hanya berdiam di tempat."
Amia meletakkan alat makan ke atas piring hidangan, kepalanya yang semula menunduk terangkat perlahan untuk balas menatap Diana Ganendra yang duduk tepat di hadapan. Wanita anggun dengan raut muka penuh ketegasan itu adalah ibunya namun, Amia tak pernah merasakan kehangatan dari bagaimana caranya memandang. Mereka memang sedang duduk berhadapan, hanya ada meja makan sebagai penghalang tetapi Amia merasa Diana Ganendra terlalu jauh dari jangkauan—-seolah-olah ada jarak yang begitu besar membentang.
"Kamu tahu, saat kamu hanya meratapi kegagalan, ada orang lain di luar sana yang sudah selangkah lebih maju di depan. Kamu harus menelan kekalahan, sementara orang lain bergembira menyambut kemenangan. Lagi-lagi, kamu menjadi pihak yang tertinggal di belakang. Diabaikan, dikucilkan dan terinjak-injak."
Amia mengepalkan kedua tangan di bawah meja. Sorot matanya yang memperhatikan lekat menyimpan begitu banyak kemarahan.
"Kamu terlihat seperti bukan putriku. Sudah lama sejak terakhir kali Amia berdiri di puncak dan tersenyum bangga memamerkan penghargaan," kata Diana pelan, pandangannya seakan-akan mampu menusuk Amia hingga ke tulang. "Sedangkan kamu ..., gagal dengan begitu menyedihkan."
Amia mengeraskan rahang, menahan gejolak hangat yang berkabut di pelupuk mata. Dibalik sikapnya yang terlihat tenang, Diana Ganendra mungkin tidak tahu bagaimana ucapannya mampu menghancurkan Amia begitu dalam.
"Siapa namanya?" Diana menautkan kedua tangan, tampak berpikir sejenak. "Alvaro Alvarendra? Si peringkat pertama, benar?"
Netra gelap Amia mencermati bagaimana Diana bangkit dari kursi, menyodorkan segelas susu ke hadapannya dan bertumpu di atas meja dengan kedua tangan yang kokoh. Segala perbuatan Diana tidak pernah luput dari perhatian Amia. Diana tampak begitu tangguh di matanya akan tetapi, jauh di lubuk hatinya ada sesak yang tak terjabarkan setiap kali Amia menyadari bahwa tidak pernah ada senyum di wajah cantik itu yang terlukis untuknya.
"Alvaro Alvarendra. Kalian bahkan satu kelas." Diana menatap dingin, tak ada riak di matanya yang mampu Amia cerna. "Akan lebih baik jika kamu memiliki sedikit lebih banyak kepintaran darinya."
Amia menelan saliva di tengah tenggorokannya yang terasa kering. Sedari awal, tidak pernah ada kesempatan baginya untuk bicara. Amia hanya bisa terdiam dan itu mengingatkannya pada kenyataan yang paling ia benci. Amia telah kalah pada kegagalan.
"Kamu enggak akan terus seperti ini, Amia. Belajarlah lebih giat, lawan kekalahan dan taklukkan kegagalan. Kamu Amia Ganendra, bukan?" Diana berucap seperti sebuah kemutlakan. "Putriku hanya boleh menang."
Ruangan makan itu terasa dingin begitu Diana meninggalkan Amia seorang. Amia tersenyum getir, melamuni segelas susu yang masih mengepulkan uap panas di atas meja. Kelopak mata Amia mengerjap, mengenyahkan genangan hangat yang hampir merebak ketika tangannya meraih gelas susu ke dalam genggaman. Amia meneguk cairan putih itu hingga tandas, merasakan gatal di tenggorokan dengan cepat menyergap. Gelas di tangan Amia luruh ke lantai, pecah berkeping-keping disusul Amia yang tak mampu menahan diri lebih lama lagi di atas kursi. Amia terbatuk-batuk, sesak mengimpit hingga ia kesulitan bernapas.
Kata Mama, Amia hanya boleh menang. Untuk menang, Amia sekali lagi melempar dirinya ke ambang jurang kematian.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
See You Tomorrow
Teen FictionMama bilang, butuh berdiri di puncak tertinggi untuk bisa menaklukkan dunia. Papa juga pernah berkata, untuk jadi yang pertama berarti tak membiarkan kalah memiliki celah. Kata Mama, kegagalan akan membawa pada sengsara. Ucap Papa, kalah adalah pe...