Tak lama berselang terlihat pangeran berkuda datang dengan gagah mendekat dan berhenti tepat di depannya, hanya saja penyihir jahat mengubah wujud pangeran itu menjadi sosok sopir bus dengan handuk kecil melingkar dileher serta topi khas sopir yang entah berapa lama tak tersentuh sabun cuci, serta merubah kuda sang pangeran menjadi bus tua berbau ampas kopling yang menyengat hidung dan mengeluarkan asap hitam pekat dari bagian belakang.
"Jalan Everil pak". Ucap gadis itu saat berpapasan dengan sopir di pintu masuk.
Tanpa menunggu jawaban dia berjalan kebelakang dan mulai mencari kursi kosong, perlahan bus kembali bergerak.
Nyaris tidak tersisa satu kursipun untuknya, wajar saja, sore hari seperti itu adalah waktu pulang orang-orang yang bekerja sebagai buruh pabrik, belum lagi tidak banyak bus yang melintasi jalan itu. Para buruh pabrik itu lebih suka berdesak-desakan dan saling dorong demi bertemu keluarga dirumah daripada harus menunggu bus selanjutnya yang belum tentu akan datang.
Beruntung masih ada satu deret kursi kosong di bagian paling belakang, tak ada seorangpun yang duduk disana, mungkin orang-orang itu takut akan takhayul bus berhantu, atau sengaja memilih berdiri dibagian depan agar dapat turun lebih cepat.
Gadis itu menarik nafas lega lalu duduk dan menyandarkan badannya sambil memejamkan mata. Terlintas kejadian tak menyenangkan yang baru saja ia alami, jalanan yang licin akibat hujan, seorang anak kecil yang berlari-lari, dan teriakan wanita tua dari seberang jalan yang sangat keras.
Ia bergegas membuka mata sebelum airmatanya jatuh, tiba-tiba dihadapanya telah berdiri seorang laki-laki berbadan besar masih mengenakan jas hujan dan menenteng sepatu kulit, wajah laki- laki itu terlihat bersahabat dan ramah, walaupun penampilanya sedikit berantakan.
"Boleh saya duduk disini ?".
"Silahkan".
"Terimakasih".
Gadis itu menjawabnya dengan senyuman kecil dan anggukan ringan.
Tiba-tiba muncul perasaan aneh dalam hatinya, rasa cemas, kawatir dan takut berbaur membentuk perasaan baru yang tidak dapat ia gambarkan, dia merasakan keningnya yang tertutup perban itu mulai terasa panas dan berkeringat, nafasnya tidak teratur, bahkan tubuhnya mulai menggigil. 'ini pernah terjadi'.
"Kau baik-baik saja ?, Apa aku mengganggumu?". Suara laki-laki itu membuatnya kembali tersadar.
"Ah tidak, aku baik-baik saja". Jawabnya spontan.
"Sepertinya aku membuat jaketmu sedikit basah, akan kulepas jas hujanku". Ucapnya sambil mulai membuka kancing-kancing besar yang menempel di jas hujan itu.
"Tidak perlu, kau harus mengenakannya lagi jika akan turun".
"Benar juga, aku turun tidak jauh dari sini, tolong bersabar sebentar ya".
"Sudah kukatakan aku tak apa".
"Hahaha baiklah, ngomong-ngomong kemana tujuanmu ?". Laki-laki itu memulai obrolan.
"Ke rumah, aku tinggal di Jalan Everil".
"Cukup jauh juga, apa kau baru saja mengalami kecelakaan ?". Tanya laki-laki itu sambil menatap kearah perban yang melilit di dahinya.
"Yaah seperti itulah, nasib tak selamanya berpihak pada kita ". Jawabnya dengan nada bercanda.
"Tak apa, toh sebentar lagi kau akan sembuh ".
"Kuharap begitu ".
"Apa kau sendirian ?".
"Seperti yang kau lihat ".
"Hahaha benar juga ".
Sejenak terjadi keheningan diantara keduanya, mereka saling memalingkan pandangan masing-masing. Suara hujan hening untuk beberapa saat, hingga gadis itu dapat mendengar detak jantungnya sendiri.
Perasaan gelisah yang ia rasakan beberapa menit lalu ketika berdiri menunggu bus sudah hilang, entah karena dia telah berada didalam bus atau karena merasakan hal yang lain.
Sesuatu yang aneh kembali terjadi, kepalanya kembali nyeri dan samar-samar muncul ingatan tentang pertemuan didalam bus beberapa tahun yang lalu, dalam suasana yang sama, dalam bus yang sama, dan dalam musim hujan yang sama.
Ingatan itu terlihat semakin jelas, wajahnya, caranya berbicara, caranya tertawa, dan caranya mengenakan jas hujan.
Kepala gadis itu semakin berdenyut, tanganya menggenggam erat payung hitam yang ia bawa, bersusah payah dia berusaha mengatur kembali nafas yag mulai tersengal-sengal.
"Hey, aku turun di depan, kau yakin akan baik-baik saja ?".
"Ah iya, aku tak apa". Jawab gadis itu sedikit gugup.
"Kau tidak kelihatan baik-baik saja, haruskah aku mengantarkanmu sampai rumah ?".
"Tak perlu, terimakasih". Tentu saja gadis itu menolak, mereka baru saja bertemu, sungguh bukan hal yang wajar jika dia menerima tawaran itu begitu saja.
"Baiklah kalau seperti itu, oh iya, namaku Dazan, rumahku berada di ujung gang itu, jika kau melewatinya, sempatkan dirimu untuk singgah". Ucap laki-laki itu sambil menunjuk sebuah gang kecil yang berada tepat dimana bus berhenti.
"Terimakasih banyak". Jawabnya yang disambung dengan senyuman kecil.
Beberapa saat kemudian bus mulai bergerak meninggalkan gang dan juga laki-laki dengan jas hujan yang berdiri disana.
~~~
Bersambung...
.
.
.
.
.
.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Oke thanks temen2 yang udah baca ceritaku sampe sini.
sebenernya yg minta untuk dilanjutin ceritanya nggak ada 5 orang sih.
cuma 4.
Itupun temen2 ku semua 😆
tapi drpd nanggung yaudah aku lanjutin aja.Good night and happy reading...
Follow my IG
@wahyuazto
KAMU SEDANG MEMBACA
Dejavu
Short StorySeperti umumnya cerita, dengan akhir yang mungkin dapat di tebak, aku benci cerita seperti itu, tapi kali ini, kuharap cerita ini akan berakhir sesuai keinginanku...