Bulanku (Cerpen 1)

126 11 2
                                    

Bulanku adalah cerpen dwilogi. Namanya dwilogi berarti terdiri dari dua cerpen. Cerpen pertama ini menggunakan sudut pandang orang pertama. Cerpen kedua menggunakan sudut pandang oranf pertama dan kedua. Selamat membaca.

***

BULAN TAK PERNAH MARAH
(Cerpen pertama dari dwilogi Bulanku)

Di antara ribuan atau bahkan jutaan kalimat yang pernah ia katakan padaku, ada satu kalimat yang selalu mengiang-ngiang, seolah telingaku bodoh, atau tak bisa merekamnya dengan baik. Kalimat kurang ajar itu bersikap ndableg, tak mau pergi meski kadang kuusir dengan paksa.

Yang kumaksud ‘ia’ adalah Dini. Nama lengkapnya Dini Prihartini. Sejauh yang bisa kuingat tentangnya, ia pernah mengatakan kepadaku bahwa kita tidak harus bisa semuanya, cukup memiliki beberapa kebisaan yang jarang dimiliki orang. Itu adalah kalimat yang membuat telingaku tampak seperti stasiun radio yang sudi memutarnya berulang-ulang, pada sembarang waktu, di tempat yang kadang tidak tepat.

Dini bukan orang jenius, hanya kepandaiannya sedikit di atas rata-rata, bukan pula motivator sok bijak. Ia hanya perempuan sederhana. Jangan berharap ia cantik. Ya, agak cantik memang, tapi tidak cantik banget. Namun kalau boleh kugambarkan, ia memiliki sepasang mata bening, begitu beningnya sampai memantulkan cahaya menyilaukan. Buktinya, aku tidak sanggup menatapnya berlama-lama. Di atas matanya, bersemayam sepasang alis lebat berbentuk mirip bulan pada saat tanggal 1 kalender hijriah. Tak perlu pensil untuk menebalkannya, meskipun ia memiliki banyak jenis pensil. Nanti akan kuceritakan kegemarannya dengan pensil-pensil tersebut.

Baru menjelaskan sepasang mata dan sepasang alisnya saja, aku mendadak cerewet. Maka bersabarlah kalau aku akan seperti nenek-nenek yang tak henti bercerita. Tenang saja, aku tidak akan banyak bicara, hanya menuliskannya saja. Silakan membacanya paragraf demi paragraf seolah kau sudah mengenalku dengan akrab, agar kelak di kemudian hari, ketika kita berjumpa kau akan menyapaku. "Hai, kau yang dulu pernah bercerita tentang bulan itu ya?”

Bulan? Abaikan dulu. Aku sedang ingin menggambarkan sosok Dini. Sampai di mana tadi? Ya benar! Aku lanjutkan! Di antara sepasang alisnya ada spasi, atau entah apa namanya. Tak perlu diperdebatkan. Bukan itu yang ingin kujelaskan, melainkan di bawah spasi itu ada sebuah indera yang disebut hidung.

“Hidungku sebenarnya mancung,” elak Dini ketika kumengatainya pesek, sambil mengelus-elus hidung, tersenyum-senyum tidak jelas.  “Tapi aku tidak mau nantinya dianggap kakakmu! Makanya aku minta pesek saja.”

Kau sudah mendengar sendiri pengakuannya. Aku tak perlu repot menjelaskannya. Hanya saja aku tak suka dengan kalimatnya. Seolah ia sedang menghakimi hanya keluargaku saja yang boleh berhidung mancung. Itu satu! Kedua, ia terlalu percaya diri kalau orang akan menganggap kami kakak beradik jika hidungnya sama mancungnya denganku.

Aku dan Dini memang akrab sejak kecil. Aku lupa kapan kali pertama ia menginjak lantai rumahku. Yang bisa kuingat, ia sering disuruh Ibu membeli ini itu, kemudian ia akan mendapatkan beberapa recehan. Selepasnya, ia mengajakku jajan di warung menggunakan uang tersebut. Ia baik bukan?

Sejak ia sering main di rumahku, saat itu pula kesenanganku sebagai anak lelaki tanpa kusadari direnggutnya. Gara-gara betah main bersamanya, aku sering menolak teman-temanku yang mengajak main sepak bola di pekarangan Haji Yus. Aku juga mulai jarang melempari mangga di samping rumah Mak Sah. Paling parah, aku mendadak tidak suka berkelahi. Ia seorang anak yang menyenangkan, punya banyak bakat, kemudian menularkannya padaku.

Hilangnya Sebuah Kutang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang