Chapter 10

6.4K 264 0
                                        

Gelas itu melayang cepat, menghantam dinding di dekat Naina dengan bunyi pecahan kaca yang tajam. Cairan merah pekat itu mengalir turun di dinding, menyerupai darah yang menetes perlahan.

Naina terkejut, tubuhnya membeku seketika. Dia tahu Reigha bisa marah, tapi tidak pernah dia melihatnya seperti ini. Napasnya berat, dadanya naik turun dengan intensitas yang menakutkan.

"Membantu? Kasihan?" Reigha mengulang kata itu dengan nada mengejek. Matanya berkilat penuh amarah dan kekecewaan. "Kau pikir aku ini hanya pilihan kedua bagimu?"

Naina menelan ludah, mencoba tetap tenang. "Ya... Kau selalu menjagaku. Aku menghormatimu. Aku tidak pernah berpikir lebih dari itu..."

Reigha tertawa pendek, namun tanpa humor. Dia melangkah mendekat, memaksa Naina untuk mundur sampai punggungnya menyentuh dinding. Wajah Reigha begitu dekat hingga Naina bisa mencium bau alkohol yang samar bercampur aroma tembakau.

"Kau sungguh bodoh atau hanya pura-pura tidak tahu, Naina?" bisiknya. "Apa aku pernah memperlakukanmu seperti pilihan kedua?"

Naina terdiam. Pikirannya kacau. Dia ingin menyangkal, ingin berteriak bahwa Reigha salah. Tapi kenyataannya? Sentuhan, tatapan, sikap protektif yang berlebihan—semuanya bukan seperti seorang teman.

Reigha mendekat lebih lagi, jari-jarinya menyentuh wajah Naina dengan lembut, berbanding terbalik dengan sorot matanya yang mengancam.

Reigha menyeringai sinis, matanya menatap tajam penuh amarah. "Teman?" suaranya terdengar dingin dan penuh ejekan. "Kau menganggapnya teman?"

Naina mengangguk dengan ragu, merasa napasnya sedikit sesak di bawah tatapan Reigha yang semakin mengintimidasi. "Ya… Dia membantuku. Aku menghormatinya, itu saja."

Naina tersentak, tubuhnya refleks menegang. Dia melihat Reigha menggenggam rokoknya erat, sebelum menghisapnya dalam-dalam dan meniupkan asapnya tepat ke wajahnya.

"Kau selalu seperti ini, Naina," gumamnya penuh kejengkelan. "Selalu menyangkal sampai terpojok, baru jujur."

Naina terbatuk pelan, mengibaskan tangannya untuk menepis asap yang memenuhi udara. "Aku tidak berbohong… Aku memang menolaknya."

Reigha terkekeh pelan, tapi itu bukan tawa yang menyenangkan. "Jadi menurutmu aku harus percaya begitu saja? Setelah aku melihat kalian pulang bersama berkali-kali" Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Naina dalam-dalam. "Dan kau masih menganggapnya teman?"

Naina menggeleng cepat. "Aku tidak ada perasaan apa pun padanya!"

"Tapi dia punya perasaan padamu." Reigha menyeringai, suaranya penuh ketidakpercayaan. "Dan kau membiarkan dia tetap dekat denganmu?"

Naina menggigit bibirnya, tahu bahwa tidak ada jawaban yang bisa memuaskan Reigha saat ini. Tatapan lelaki itu semakin gelap, penuh dengan sesuatu yang sulit diartikan—campuran antara kemarahan, cemburu, dan rasa memiliki yang begitu kuat.

"Jangan buat aku muak, Naina," katanya, suaranya begitu rendah dan dingin. "Kalau kau masih ingin selamat malam ini, lebih baik kau berhenti menyebut namanya di hadapanku."

Tentu saja Reigha panas. Baginya, itu bukan sekedar pulang sekolah bersama, tapi bukti pengkhianatan.

Dia tidak peduli apa alasan Naina, tidak peduli seberapa keras dia menyangkal. Fakta bahwa Naina masih berkomunikasi dengan pria itu, meskipun hanya dalam bentuk pertemuan singkat, sudah cukup untuk membuat darahnya mendidih.

Reigha tidak akan tinggal diam.

Baginya, ini bukan hanya masalah cemburu—ini adalah masalah kendali. Naina adalah miliknya, dan dia tidak akan membiarkan siapa pun, termasuk Atlet renang itu, merusak apa yang sudah menjadi miliknya.

Reighaard Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang