Broken Home

190 4 0
                                    

Kalimat yang tidak asing, tapi seperti biasa, tidak semua paham maknanya. Saya ingat sekali Bapak perwakilan dari BNN dengan lantang mengatakan "Kami sudah survey dan ternyata tidak semua pemakai anak broken home, banyak yang orangtuanya masih utuh,"

Saya bungkam. Wajarlah banyak orangtua merasa sudah melakukan yang terbaik dan menuntut anak untuk sesuatu yang mustahil. Orang sekelas beliau saja masih belum paham apa itu broken home.

Semua konselor, terapis, coach atau apapun istilahnya, menemukan saat orangtua datang meminta anaknya "diobati" ternyata yang bermasalah justru orangtua. Ya, mungkin saja karena orangtua produk dari orangtuanya (Nenek kakek dari anak). Orang biasa menyebutnya dengan luka turunan.

Beruntung yang orangtuanya sadar. Sayang banyak orangtua yang justru hanya menasehati anak. Menuntut anak untuk berubah tanpa berpikir bahwa perilaku anak saat ini adalah respon dari perilaku orangtua.

Meminta anak berpikir positif dalam semalam setelah seumur hidupnya memendam luka? Setiap malam dia menangis lalu dalam sejam diminta mensyukuri hidup?

Pada akhirnya anak-anak punya pilihan apa?

Selain mencoba melanjutkan hidup yang entah bagaimana. Karena masa lalu tidak bisa diubah.

Ada yang tidak hidup bersama orangtua tapi baik-baik saja?  Memang, katena broken home itu suasana hati, bukan fisik.

Banyak kasus orang depresi saat sudah dewasa(baca: tua). Bahkan saat sudah punya cucu. Waktu dicek lebih jauh ternyata masalahnya terjadi waktu dia kanak2. Meski setidaknya dia sempat (tampak) hidup normal. Punya teman dan mampu kerja. Tapi apa artinya selama 60 tahun hidupnya baik-baik saja?

Ada yang keluarganya sangat berantakan, tapi anaknya tumbuh kuat dan hebat? Iya, karena dalam kondisi berantakan dia mendapat cukup cinta. Sekali lagi, broken home bukanlah kondisi fisik, tapi hati.

Lalu ada cerita anak dari keluarga miskin tapi berprestasi?

Ya itu contoh cerita indah yang akan banyak disukai. Tapi yang biasa disorot adalah perjuangan anak. Tidak ada yang membahas bagaimana karakter orangtua yang membesarkan anak tersebut. Fakta miskin lalu jadi terkenal atau pintar memang lebih menjual.

Sekarang sedang heboh cerita artis yang mau cerai. Netizen berteriak. Meminta mereka memikirkan anak. Terlepas dari apapun masalah mereka sesungguhnya, ini adalah bukti ketidakpahaman atas konsep broken home. Bertahan demi anak? Percuma. Anak akan menderita jika berkumpul dengan orangtua yang tidak bahagia.

Membandingkan anak sendiri dengan anak lain juga dongeng lama. Sayangnya anak baik tidak mungkin menjawab "Bisa gak kayak orangtua lain?" Saat orangtua membandingkannya dengan anak yang lain "Kenapa kamu gini, liat si A blablabla,"

Duhai orangtua, coba sebelum membandingkan anak, mari kita membandingkan diri dengan orangtua lain yang anaknya sudah berhasil. Sudahkah kita layak?

Anak pasti sudah banyak mendapat saran untuk memaafkan dan bersyukur. Saya hanya ingin mengatakan "Mau sampai kapan mencetak generasi luka?"

Hentikan tradisi menurunkan luka. Sembuhkan luka sebelum menikah.

Menikahlah, jika sudah siap. Menikahlah dengan orang yang tepat di waktu yang tepat, karena nikah bukan soal siapa cepat.

Lalu ada yang frustasi dan mikir "Terus harus gimana?"

Hahaha bahagialah.

Jawabnya "Gimana bisa bahagia kalau blablabla (lanjut ngeluh sampai monas ketemuan sama eiffel)."

***

Ngomongin bahagia kapan-kapan aja kalo mood.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 09, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PSYCHOLOGY (Sudut Pandang) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang