•Rain Orange:1

85 14 10
                                    

Hujan...

Dulu, kukira hujan adalah berkah. Sesuatu yang harus disyukuri. Dia memberikan kesejukan saat panas menyerang. Menyuburkan tanah tanah yang tandus. Seolah berkata "Aku akan selalu membantumu"

Tapi, lama kelamaan hujan itu semakin deras. Lalu berubah menjadi badai. Menghambat ku untuk melakukan hal yang membuatku senang. Memberikan banyak kerusakan.

Ia membawa angin kencang, yang menerbangkan semua harapan. Meruntuhkan bangunan yang sudah susah payah aku buat. Memukul mundur orang-orang yang selalu membuatku bahagia. Seolah aku tak berhak menerimanya.

Kadang, ia juga membawa petir. Dengan suara memekak kan telinga seperti mengintimidasi. Tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bukan. Tapi dia tidak peduli.

Luka yang dia sebabkan, membuatku terpaksa membekukan diriku sendiri. Agar tak bisa kurasakan perih itu lagi. Aku lelah. Aku bukanlah manusia yang kuat seperti yang kau lihat. Aku hanya manusia lemah yang tak bisa melawan takdirku sendiri.

Dan dia pergi...

Meninggalkanku disaat aku benar-benar butuh dukungan. Meninggalkanku saat jatuh di sebuah lubang yang gelap. Aku ingin keluar. Aku butuh seseorang. Aku butuh cahaya.


Dan apa kau tahu? Ada satu hal yang menghampiri ku. Aku kira dia bermaksud menyakitiku lagi. Tapi tidak. Dia mengobatiku. Banyak luka-luka yang aku dapat dulu, berhasil ia tutup.Menghilangkan nyeri dan sesak yang selama ini aku pendam.

Hanya dengan sebuah lengkungan hangat yang selalu aku dapatkan. Memberiku kepercayaan jika aku masih berarti di dunia yang kejam ini. Mendekapku dan memberikan rasa aman. Seolah berkata "Don't give up. Kamu tidak sendiri. I'm here. And always here."

Aku harap dia selalu ada disampingku. Aku harap hujan tidak akan menerbangkan harap ku lagi. Aku harap dia kuat agar hujan tak membawanya pergi....

*****

"Ni gerimis lama banget dah elah. Gue ga bawa panyung lagi, mana bentar lagi bel masuk udah bunyi. Duh! Gue harus gimana?! Bu Ular ga akan nerima alasan kalo telat cuma gara-gara gerimis doang. Gue ga mau lari keliling lapangan lagi. Aaarrgghhh..!!"

Vira terus menggerutu dan mengacak rambut nya frustasi, sambil berjalan bolak balik di halte dekat rumahnya. Hari-hari sebelumya Vira selalu berangkat sekolah bersama Vero, saudara kembarnya. Sekolah mereka sama. Tapi kemarin Vero menginap di rumah temannya, karena ada tugas yang harus di kumpulkan minggu ini katanya.

Biasanya yang menjadi alarm Vira adalah ya Vero ini. Dan hari ini, Vira bangun kesiangan. Mama dan Papa mereka selalu berangkat kerja pagi-pagi sekali. Sebenarnya Vira sudah menyalakan alarm di smart phone miliknya. Tapi memang dasarnya Vira kebo ya nggak kedengeran juga.

Disinilah Vira sekarang, menunggu bis yang yang tak kunjung datang. Menelantar kan para calon penumpang yang harap-harap cemas menanti kedatangannya."Apa gue telfon Vero aja kali ya?"

"Tapi Vero pasti udah di sekolah. Gak mungkin Bu Ular ngizinin anak-anak keluar. Ini kan udah mau bel." lanjutnya cemas.

Tin tin!

"Mau ikut gak?" Seseorang dengan mogenyaberhenti tepat didepan halte yang disinggahi Vira, lengkap dengan helm full face dan hodie abu-abu miliknya.

"Eh k-kak Higa. Gak usah kak, ngerepotin. Bentar lagi bis nya juga dateng kok" Jawab Vira gugup dengan senyum yang di paksakan.

"Bel masuk lima menit lagi bunyi. Yakin mau nung-" Ucapannya terpotong oleh suara yang tidak santai.

"Hah! Li-lima me-menit!" Vira hampir melompat mendengar kata lima menit. Aduh gimana nih, pasti dihukum kalo nunggu angkot atau bis. Apa gue ikut kak Higa ajh kali ya.

"Jadi gimana? Mau ikut gak?" Tanya Higa sekali lagi

"Yaudah deh. Eh emm tapi beneran gak ngerepotin kan kak?" Tanya Vira balik, merasa tidak enak, pasalnya Vira tidak terlalu dekat dengan Higa.

"Iya yaelah, santai aja kali sama gue mah. Nih pake." Higa terkekeh kecil lalu menyerahkan helm cadangan yang selalu dia bawa kemana-mana.

"Pegangan. Gue bakal ngebut." Setelah memastikan Vira duduk dengan aman dan nyaman, Higa langsung menjalankan motornya dengan kecepatan diatas rata-rata. Hingga Vira tidak sadar tangan nya sudah melingkari perut Higa.

Tanpa diketahui oleh Vira, sebuah senyuman kecil tercetak di dalam helm full face Higa.

*****

Vira berjalan cepat melewati koridor yang akan membawanya ke kelasnya. Majahnya memerah, serta tangan nya terus diremas. Mengingat tadi pagi ia berangkat dengan kakak kelas yang sejak bangku SMP di idolakannya. Ini kali pertama ia sangat bersyukur karena hampit terlambat.

Clak!

Vira memasuki kelasnya. Hening. Melihat meja guru yang tidak ada seorangpun disana membuat Vira heran. Tapi seketika suara-suara itu terdengar.

"Yaelah Vir. Gue kira guru tadi yang masuk." Rata-rata sepeti itulah yang di ucapkan teman-temannya.

Kelas pun kembali berisik. Dan Vira langsung menuju tempat duduknya. Di sebelahnya sudah ada Felycia, duduk manis sambil memainkan ponsel miliknya. Vira teringat akan hal yang baru saja ia alami tadi pagi bersama Higa.

"Fel lo tau gak?"

"Kaga." Jawab Felycia cuek tanpa menoleh.

"Ih gue beneran Fel." Vira merengek seperti anak kecil yang minta di belikan mainan.

Felycia menghembuskan napas pasrah dan menatap sahabat sekaligus teman sebangkunya ini. "Ya gue kaga tau lah Pira bego, kan lo belom ngomong apa-apa. Lo kira gue cenayang yang bisa baca pikiran orang?"

Vira hanya senyum-senyum memikirkan apa yang terjadi pada dirinya, dengan wajah yang merona karena malu. "Ih pokoknya gue seneng banget pagi ini. Aaarrgghh. Mimpi apaan gue semalem ya tuhan."

"Emang apaan sih? Gue jarang loh liat lo salting sampe bego kayak gini. Siapa yang bikin otak o'on lo tambah geser? Kan gue entar yang berabe ngurus anak orang"

Vira terus menutupi pipi nya yang memerah. "Gue tadi berangkat sama kak Higa Fel."

"Hah! Serius lo!" Kaget Felycia sampai berdiri dan menggebrak meja. Tatapan horor langsung mengarah pada Felycia yang hanya cengengesan.

"Lo becanda kan? Gak mungkin banget tau gak? Ngarang lo ah." Ucap Fely setelah duduk kembali dengan suara yang lebih rendah dari sebelumnya.

~~~~


Rainy HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang