Diantara Kita

899 114 14
                                    


Jisoo menarik diri untuk tidak terlalu terlarut dalam kepedihannya yang mungkin jika diungkit saat ini sangatlah tidak beralasan. Segenap hati ia sudah menyatakan bahwa dirinya adalah pribadi yang kuat. Pribadi yang punya keyakinan teguh untuk tetap menerima apapun hasil dari yang sudah ia putuskan.

Jisoo membiarkan Jennie melangkah berpisah arah tujuan darinya, yang memutuskan untuk langsung menuju kamar Rosé, tempat Lisa berada. Ia tidak ingin meributkan hal yang mungkin masih tidak ingin Jennie terima. Ia biarkan Jennie memilih tindakannya saat ini. Yang pasti, Lisa sudah berada dalam jangkauannya dan akan meraihnya.

Tidak ada yang mereka ucapkan selama berada di perjalanan tadi. Jennie memilih untuk tetap berkonsentrasi dengan kemudi yang ia ambil ahli atas kemauannya sendiri. Sedang Jisoo, hanya mengedarkan pandang memandangi hal yang tidak ingin ia amati.

Jisoo mendorong pintu kamar yang Lisa diami dengan hati-hati berharap tidak menimbulkan suara yang bisa mengganggu si sang terlelap. Dan mendapati seorang gadis cantik yang tengah terbaring dengan napas yang berat di atas peraduannya.

Jisoo menutup pintu kembali sebelum melangkah ke sisi ranjang dan berdiam untuk meneliti keadaan Lisa yang benar tengah tertidur.

"Lisa.." seru Jisoo menyentuh kening sang gadis. 

Hangat.

Rosé benar, Lisa memang sedang terkena demam. Harusnya Jisoo tidak memikirkan diri sendiri sedang ia meninggalkan Lisa seorang diri yang tengah terserang demam di sini.

"Hei, Lisa. Apa kau sudah makan?" seru Jisoo lagi lembut. Kali ini dengan menyentuh pipi pucat sang adik yang bahkan belum yakin untuk ia akui.

Lisa seperti terpanggil dengan suara Jisoo yang berucap namanya. Dan sentuhan di pipi itu pun mungkin telah berhasil merangsangnya untuk terjaga dari lelapnya. Lisa membuka matanya pelan. Dan langsung bayangan Jisoo dengan sedikit senyuman lembut yang menyambut kesadarannya. Lisa sedkit terkejut, karena toh yang ia tahu Jisoo dan Jennie sedang pergi untuk beberapa hari lamanya.

"J-Jisoo?" tanya Lisa terucap ragu. "Bukannya kau sedang.." Jisoo menampilkan senyum sambil membantu Lisa bangkit dari pembaringan. Mencoba duduk dan bersandar sebab Jisoo tengah mengiringnya di sana. "Rosé khawatir karena harus meninggalkanmu seharian, dan dia mengabari Jennie bahwa kau sedang demam." Lisa masih tetap tidak telalu yakin. Tapi, keberadaan Jisoo dihadapannya kini mau tidak mau membuatnya yakin.

Mengabari Jennie katanya? Bukankah itu berarti Jennie pun harusnya ada di sini? Di hadapannya, bersama dengan Jisoo. Lisa menembus posisi duduk Jisoo dengan pandangannya. Mencari-cari keberadaan Jennie yang harusnya juga mengkhawatikan keadaannya sama sepeti apa yang Jisoo lakukan. Namun, tak ia temui wujud lain selain wujud hakim muda berkharisma ini, di kamar ini.

Jisoo yang seperti paham jalan pikir Lisa, langsung tersenyum lembut. Diraihnya bangkit selimut yang tadinya membungkus Lisa, kemudian kembali membetulkan posisinya, serasa tangannya meraih puncak kepala Lisa lembut dan mengusapnya, "Jennie akan datang memeriksamu. Kembalilah berbaring." Ucapnya.

.

.

"Besok akan kuhubungi lagi, Rosé. Bersiaplah jika nanti akan ada revisi tambahan lebih dari apa yang pernah kauperbaiki." Rosé menautkan kedua alisnya hingga saling bertemu di sisi ujungnya. Ucapan itu ia dengar dari seorang yang bahkan hanya menyandang status asisten dosen dari dosen pembimbingnya di Universitas. Dan sebenarnya ia tidak pernah ingin mendengar ucapan itu darinya.

"Apa kau berhak mengatakan itu padaku?" Rosé memainkan mimiknya dengan ekspresi kesal. Bibirnya hampir komat-kamit jika saja wanita yang hanya beda beberapa tingkat darinya ini tetap berlagak seperti seorang dosen sungguhan. Dan bukannya malah tersinggung, wanita itu malah tertawa. Dan ia menyela, "Hei. Begini-begini, aku asisten dosen loh." Ucapnya mencoba angkuh. Sungguh, selain cantik, Rosé mengakui jika wanita ini juga memiliki isi otak yang membuatnya iri.

Between Her CurtainsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang