Enam

35.2K 5.6K 156
                                    

Ada luka yang tak perlu
Kau tau kalau dia ada
-Anonim-

Diona duduk di kursi penumpang mobil Edo dengan perasaan resah. Laki-laki itu langsung menjalankan mobilnya bahkan sebelum Diona selesai mengenakan sabuk pengamannya. Seketika Diona merasa menyesal sudah masuk ke dalam mobil Edo. Dia menoleh ke samping melihat wajah laki-laki mesum di sebelahnya ini. Edo menatap lurus ke depan. Mungkin orang tidak akan percaya kalau Edo adalah laki-laki mesum yang selalu berusaha untuk melecehkan Diona, melihat dari wajahnya yang innoncent seperti ini. "Mau lo apa?" tanya Diona.

Edo menoleh sekilas kepadanya. "Santai Sayang, kita masih di jalan, jangan buru-buru," ucapnya.

Diona merasakan amarahnya memuncak. "Gue mau ngomong baik-baik ya sama lo."

"Easy, aku juga mau semuanya baik-baik, Sayang."

Diona semakin muak mendengar ucapan Edo. Dia menarik napas dalam-dalam dan mengebuskannya perlahan. "Kalau lo nggak bisa diajak kerja sama, lebih baik gue turun. Gue mau nyelesain masalah ini baik-baik. Apa salah gue sampai lo bertingkah begini ke gue."

"Salah kamu?" Edo menatap Diona sambil tersenyum licik. "Salah kamu bikin aku nggak nafsu sama perempuan lain Di," jawab Edo santai.

Diona benar-benar berang mendengarnya. "Turunin gue di sini!" teriaknya. Bukannya menuruti ucapan Diona, Edo malah membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi, jantung Diona berdetak kencang, seketika dia merasa menyesal sudah masuk ke dalam mobil ini. Dia memang bodoh mengira bisa mengatasi orang gila sepetri Edo sendirian.

Diona semakin panik saat di luar hujan turun dengan begitu deras dan Edo menjalankan mobilnya ke jalanan yang jelas bukan jalan menuju rumah Diona. "Lo mau bawa gue ke mana! Turunin gue!" teriak Diona, namun Edo masih tidak mendengarkannya. Diona merasa frustrasi berteriak-teriak seperti ini tetapi Edo tidak juga mendengarkannya, akhirnya dia mencoba dengan cara yang lebih lembut. "Do, plisss, kita bisa bicarakan baik-baik. Kalau gue ada salah sama lo, gue minta maaf, tapi jangan kayak gini," mohon Diona.

Edo memandangnya dan tersenyum meremehkan, lalu dengan tiba-tiba membelokkan mobilnya di sebuah tanah lapang. Tubuh Diona terbanting ke depan karena Edo yang tiba-tiba menginjak pedal rem, untung dia masih mengenakan sabuk pengamannya. "Lo gila ya!" Sebelum Diona sempat mengatakan hal lain, Edo membuka sabuk pengamannya lalu menarik kepala Diona, dia berusaha mencium Diona, namun Diona berhasil mengelak. Diona terus meronta.

"JANGAN!" teriak Diona histeris ketika Edo menarik bagian depan blus yang dikenakannya hingga kancingnya lepas, menampakkan bagian depan dada Diona yang dilapisi tank top hitam. "Kamu mulus banget, Di. Harum," bisik Edo di telinga Diona lalu tangannya memegang dada Diona yang membuat Diona tidak lagi bisa menahan tangisnya.

*****

Diona menangis dalam pelukan Naisha, beberapa menit yang lalu dia menceritakan apa yang telah terjadi pada perempuan itu. Membuka luka yang beberapa hari lalu terjadi padanya. Naisha tidak berhenti mengumpat mendengar perbuatan tidak bermoral Edo. Laki-laki itu layak untuk dipenjara. Tadi siang Naisha langsung menghubungi Diona untuk bertemu dan mendengarkan masalahnya secara lengkap. Mereka bahkan tidak sempat untuk menentukan tempat untuk bicara, saat Diona memasuki mobil Naisha, perempuan itu langsung menangis, runtuh sudah sikap wanita independen yang selama ini dia tunjukkan.

"Lo udah lapor polisi kan?"

Diona mengangguk. Dia melepaskan pelukan Naisha lalu meraih tisu yang ada di dashboard. "Gue udah minta tolong Kak Mukti," ucap Diona. Mukti adalah kakak sepupu Diona yang berprofesi sebagai seorang polisi.

"Terus gimana?"

"Kak Mukti ngamuk. Awalnya gue nggak mau cerita. Tapi dia maksa gue buat ngomong." Saat Edo melakukan pelecehan padanya, Diona melawan sekuat tenaga, hingga akhirnya dia berhasil lolos, Diona lupa bagaimana persisnya, tetapi sepertinya dia sempat memukul laki-laki mesum itu lalu dengan cepat melepaskan sabuk pegaman dan keluar dari mobil Edo. Diona berlari sejauh mungkin di tengah derasnya hujan, dia berteduh di sebuah warung tenda yang saat itu sedang tutup, sambil memegangi bagian depan bajunya yang berantakan. Diona mencoba menghubungi Nara, namun panggilannya tidak dijawab, akhirnya satu-satunya orang yang terpikir olehnya adalah Mukti.

Mukti tidak mungkin bisa dibohongi, instingnya sebagai seorang polisi terlalu tajam, dia bisa tahu apa yang terjadi dengan adik sepupunya itu dan memaksa Diona untuk menceritakan semuanya.

"Jadi dia udah ditangkap?" tanya Naisha.

Diona menggeleng. "Belum, masih pemeriksaan. Tapi Kak Mukti bilang nggak akan lepasin dia. Dia pasti dapat hukuman yang setimpal."

"Harus! Kalau perlu dia dipenjara seumur hidup," kata Naisha berapi-api.

Diona mengembuskan napas pelan. "Gue masih kebayang gimana dia megang dada gue." Air mata Diona kembali mengalir mengingat itu, dia merasa jijik dengan dirinya sendiri karena membiarkan dirinya diperlakukan seperti itu. Naisha mengusap punggung Diona lembut, dia bingung harus mengatakan apa, kalimat penghiburan pasti tidak akan bisa diterima dalam keadaan seperti ini.

"Gue benci banget sama dia, Nai. Benci banget!" ucap Diona dan kembali menangis.

*****

Diona mengembuskan napas berulang kali sepanjang perjalanan menuju kantor polisi. Tadi salah satu polisi menghubunginya, hari ini dia akan dimintai keterangan tentang apa yang terjadi beberapa hari yang lalu. Rasanya melelahkan harus menceritakan hal yang sama berulang kali, membuka luka itu lagi. Diona meminta Mukti merahasiakan hal ini dari mamanya, dia tidak membayangkan apa yang akan terjadi seandainya mamanya tahu tentang perlakuan Edo padanya.

Diona memarkirkan mobilnya di depan kantor polisi, dia berjalan perlahan memasuki kantor itu. Mukti sudah ada di sana sedang bicara dengan polisi yang menangani kasus Diona. Melihat kedatangan Diona, Mukti langsung meminta Diona untuk duduk. Polisi yang menangani kasus Diona memperkenalkan diri dan langsung menanyakan beberapa hal terkait dengan kasus ini.

"Kemarin kami sudah meminta keterangan dari Edo, dia bilang kalian pacaran, betul?" tanya polisi yang bernama Rudy ini.

"Nggak Pak, dia bohong! Saya nggak pernah pacaran sama dia."

Rudy mengangguk dan mengetikkan sesuatu di laptopnya. Lalu menayakan hal lainnya. "Jadi Mbak Diona ingin kasus ini tetap diteruskan atau damai?"

"Diteruskan Pak. Saya mau dia dapat hukuman," tegas Diona. Kali ini dia tidak akan membiarkan Edo kembali berkeliaran, dia harus mendapatkan hukuman yang setimpal, walaupun Diona tidak yakin hukuman yang diterima oleh laki-laki itu bisa membuat rasa traumanya hilang.

"Nanti kami akan mengatur jadwal mediasi, kita akan mendengarkan pengakuan dari korban dan pelaku. Saya akan menghubungi Mbak Diona lagi," ucap Rudy yang diangguki oleh Diona.

*****

"Lo kenapa sih, Di?" tanya Nara. Tadi siang laki-laki itu menghubunginya, menanyakan kenapa beberapa hari lalu dia menelepon dirinya hingga lima kali. Tetapi selama ini panggilan dan pesan-pesan Nara tidak dibalas oleh Diona. Akhirnya Nara berinisiatif langsung datang ke kantor Diona.

"Nggak papa, Nar," jawab Diona sambil menyesap es teh manisnya. Mereka berdua memutuskan untuk makan malam di salah satu warung pecel lele yang ada di dekat kantor Diona.

"Beneran?" tanya Nara lagi, dia tidak yakin. Entah kenapa dia merasa kalau Diona sedang menutupi sesuatu darinya.

"Bener."

"Oke, kalau gitu."

Diona dan Nara mulai menghabiskan makanan masing-masing, Diona berusaha mengalihkan perhatian Nara dengan membahas hal lain. Hingga akhirnya keduanya berpisah, Nara mengantarkan Diona memasuki mobilnya. Sebelum Diona masuk ke kursi pengemudi, Nara menahan tangannya, saat itulah Diona menarik tangannya dengan sikap siaga. Nara mengerutkan kening, sementara Diona berusaha mengontrol ekspresinya, itu tadi gerakan refleks, yang sering dilakukannya di keramaian atau ada laki-laki yang ingin menyentuhnya.

"Sori, gue cuma kaget."

Nara tersenyum lalu mengusap lembut kepala Diona, kali ini perempuan itu tidak menghindar. "Lo mungkin belum bisa cerita sekarang, tapi gue akan dengerin semuanya di saat lo udah siap buat cerita."

Ucapan Nara itu membuat Diona ingin menangis saat itu juga, hanya saja dia menahan diri. "Gue pulang dulu," ucapnya.

Nara mengangguk. "Hati-hati ya. Kabarin kalau udah sampe rumah."

*****

Rahasia DionaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang