Prolog

136 13 5
                                    

"Kau kan tahu, ibu akan marah bila kita makan es krim sebelum makan malam," Soo Ra sama sekali tak mendengarkan perkataanku, memang bocah satu ini sangat keras kepala.

"Diamlah, jika kakak berisik, kita akan ketahuan." ini persis seperti permainan detektif yang sering kumainkan bersamanya. Hanya saja kita beralih peran, bukan menjadi detektif, melainkan menjadi buronan. Ibu yang jadi detektifnya bila kami ketahuan.

Aku mendecak kesal, ini menyenangkan baginya, tapi tidak bagiku. Aku bisa kena omelan ibu dua kali lebih banyak daripadanya. Tunggu, akan kuberi gambaran singkat, "Yoongi, kau ini kan kakak, harusnya kau memberitahu adikmu bila memakan es krim sebelum makan malam akan membuatnya sakit perut. Sudah berulang kali ibu bilang seperti ini? Ibu lelah harus mengulang-ulang kalimat yang bahkan sama sekali tak pernah didengarkan anaknya, lebih baik ibu mencari anak baru saja, lalu kau dan Soo Ra ibu tinggal dirumah bersama ayah saja." kurasa aku melebih-lebihkan dikalimat terakhir, tentu saja ibu tak akan meninggalkanku dan Soo Ra, ibu kan sayang kami.

Soo Ra sepertinya sudah siap melahap es krim yang sudah diambilnya dari lemari es, jujur saja, aku juga ingin memakannya tapi melihat Soo Ra yang sepertinya tak ingin membagi es krim jadi lebih baik aku diam. Melihatnya makan es krim membuatku tersiksa, aku juga ingin.

"Sepertinya ada yang tak mendengarkan perkataan ibu, ya?" Tuhan, ibu datang. Aku akan mati, tapi tunggu. Ibu tak marah? Apa yang kulihat ini betulan, kan? Ibu tersenyum. Ini aneh. Teramat sangat aneh. "Makanlah, jangan lupa saling berbagi. Kalian kan hanya berdua, bila tak ada ayah ataupun ibu, kalian harus tetap saling berbagi dan menyayangi, ya?" Kali ini memang keajaiban, ibu tak marah. Ini menyenangkan, Soo Ra memandangku seolah memberi isyarat,

sudah kubilang, ibu tak akan marah.

Aku mengangguk mengiyakan. Kembali menatap ibu yang tengah duduk, menatap kami berdua. Entah perasaanku saja, ibu terlihat sangat lelah kali ini dibandingkan hari-hari lainnya. Ibu memang pekerja kantoran, ayah juga, jadi kami sering diasuh oleh bibi Park yang berada di sebrang apartemen kami. "Ibu?" Aku beranjak, meninggalkan Soo Ra yang tengah asyik menikmati es krim vanillanya. "Ibu kenapa?" Ibu membelai rambutku pelan, kemudian menggeleng pelan. "Ibu baik-baik saja."

__

Apartemen kami mendadak dipenuhi para pelayat, bahkan Paman Ahn jauh-jauh datang dari Jeju hanya untuk memastikan keadaanku dan Soo Ra. Mereka tak memberi alasan yang pasti, mereka hanya mengatakan bahwa ibu sedang beristirahat, iya beristirahat, istirahat panjang. Aku bukan anak kecil yang akan mengiyakan segalanya, bukan. Aku tahu ibu sudah tiada, mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Aku tahu. Hanya saja pemikiran orang dewasa jauh lebih rumit, apa susahnya mengatakan 'ibumu sudah tiada, yang sabar, ya?'. Mungkin itu terlalu sulit bagi orang dewasa mengatakannya pada anak usia seumuranku.

Ayah nampak paling terpukul disini, buktinya dari tadi beliau hanya diam. Matanya bengkak setelah menangis melihat peti ibu yang mulai dilahap habis kobaran api, ia harusnya tegar, tapi memang ditinggalkan orang yang paling dicintai mampu membuat kita sedih sekaligus sakit bukan main. Soo Ra juga terlihat diam saja dengan boneka beruang pemberian ibu dipelukannya. Duduk diantara para pelayat, ia terlihat tenang.

"Yoongi," aku menatap Paman Ahn yang berjongkok didepanku, gurat kesedihan terpampang jelas di wajahnya yang mulai keriput, "Kau harus kuat, ya?" Paman Ahn menunduk, aku tahu ia sedang menangis sekarang, bahunya bergetar hebat. Sekilas aku bisa mendengar isakannya. "Iya paman, aku akan kuat. Aku tak akan membuat ibu khawatir. Aku ingin ibu tenang disana." Paman Ahn mengangguk, aku tak ingin membebani orang-orang. Aku akan baik-baik saja, tapi tak akan berlaku pada ayah. Sejak meninggalnya ibu, ayah menjadi pemabuk berat, beliau akan pulang larut malam dengan kondisi mabuk berat. Aku akan dipukuli bila membuat keributan.

Pernah sewaktu sekolah aku datang dengan kondisi mata lebam dan luka di tangan kiriku, cukup membuat perhatian di kalangan guru-guru. "Kau kenapa?" Tanya salah satu guru yang saat itu menjabat sebagai wali kelasku, "Aku baik-baik saja." entah kalimat keberapa kali yang menyatakan aku baik-baik saja. Aku bahkan lupa menghitungnya setelah ke-21 kalinya. Aku terlalu malas menghitung.

__

Malam itu langit dipenuhi bintang dan ayah pulang lebih cepat dari biasanya, kurasa ayah mulai berubah, tapi kurasa tidak. Ia pulang dengan kondisi yang sama seperti sebelum-sebelumnya. Mabuk berat.

Aku tengah bermain bersama Soo Ra didepan TV yang memang tak pernah dinyalakan kala malam, takut mengganggu ayah. Lampu tengah pun sama, dibiarkan mati. Ayah duduk dikursi pantry sambil meminum botol soju yang beliau beli sepulang kerja, itu menjadi kebiasaannya setelah ibu meninggal.

Entah kenapa, rumah menjadi lebih sepi, aku hanya bermain dengan lego yang kususun tinggi keatas yang sebenarnya ingin kubuat gedung namun hanya sebatas ini yang kubisa, Soo Ra juga sibuk dengan mobil-mobilanku, dia anak perempuan tapi sangat suka dengan mobil-mobilanku.

Kurasa aku dan Soo Ra akan melewati malam yang menenangkan, tapi kurasa salah, salah besar. Soo Ra tak sengaja membuat bunyi mobil-mobilanku yang ia mainkan. Tak hanya keras kepala, Soo Ra juga ceroboh. Ayah langsung menatap tajam kearah kami berdua. Beliau langsung membawa tungkai panjangnya kearah kami, aku menatap kearahnya kemudian beralih menatap Soo Ra yang ketakutan setengah mati, "Masuk ke kamar sekarang," bisikku kemudian kembali menatap ayah yang makin dekat denganku, bisa kulihat dari sudut mataku Soo Ra tengah menangis, jujur ini membuatku sakit. "Cepat, tak ada waktu." Soo Ra langsung berlari ke kamar. Aku hanya bisa menatap ayah yang kini sedang memukulku tanpa ampun, biar aku saja yang menerimanya asal bukan Soo Ra, aku tak mengapa. Aku kuat.

Sayangnya, setelah muka penuh lebam dan luka di sekujur tubuh, aku tak menemukan Soo Ra dikamar. Kosong. Mungkin saja Soo Ra bersembunyi di lemari, namun tak kutemukan setelah membuka lemari yang biasa ia jadikan tempat persembunyiannya. Panik, itu kata yang bisa kugambarkan saat ini. Tapi kurasa tak perlu panik lagi. Aku sudah menemukan Soo Ra. Ia berada dibawah sana, dengan genangan merah dan baju yang terlumuri noda merah tadi.

Soo Ra jatuh dari balkon.

the TW : OTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang