Prelude: Abimanyu Biantara Caraka

291 41 4
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SEJAK dulu, bel pulang sekolah adalah hal yang paling Abi benci. Disaat anak-anak lain bersorak riang, lelaki itu hanya menghela nafas, lalu menenggelamkan kepalanya diatas lipatan tangan, pura-pura tertidur sampai keadaan kelas benar-benar kosong. Setelah itu, ada dua pilihan. Dia akan melanjutkan tidurnya, atau pergi ke rooftop sekolah untuk mengisap sebatang nikotin sambil bersantai seolah-olah tempat itu adalah kamarnya sendiri.

Ya. Rumahnya bukan sesuatu yang menyenangkan. Rasanya lebih baik ia tidur di jalanan daripada dirumahnya sendiri yang lebih layak disebut neraka.

Kadang Abi berpikir, kenapa orang lain menganggap rumah sebagai tempat terbaik untuk melepas lelah? Padahal menurutnya, rumahnya adalah tempat menambah beban pikiran yang mengikis batinnya.

Rumahnya tidak sehangat itu.

Bisa saja sejak dulu Abi sudah meninggalkan tempat itu yang pastinya sangat mudah ia lakukan. Namun, ada seseorang yang membuatnya bertahan sampai sekarang.

Ibunya.

Ya, hanya ibunya.

Wanita mulia berhati malaikat yang Abi cintai lebih dari apapun. Wanita sekuat baja yang hanya mempunyai satu tujuan; kebahagiaan putranya.

Karena kesabaran ibunyalah, Abi terpaksa tetap bertahan hingga saat ini. Dia akan selalu datang kerumahnya menjelang larut malam, masuk ke kamar ibunya untuk memastikan bahwa wanita itu tidur dengan nyaman, lalu naik ke atas, mengurung diri di kamar, menghabiskan malam dengan bermain game, lalu hanya tertidur dua jam sebelum jadwal masuk sekolah.

Begitu seterusnya.

Abi yang tak tersentuh.

Seperti malam ini, pukul sebelas, rumah sudah tampak seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. Marmer yang beku, dan samar-samar tercium bau dinding baru.

Cat baru? Entahlah. Abi tidak tau sejak kapan warna dindingnya berubah menjadi cokelat susu. Lagi pula, untuk apa dia sepeduli itu?

Abi membuka pintu kamar ibunya. Tapi yang ia lihat adalah sebuah pemandangan memuakkan yang sangat dia hindari.

Ayahnya, dan perempuan itu.

"Abi, sudah pulang?" Tanya ayahnya dengan laptop dipangkuan. Sedangkan perempuan itu tampak sedang membereskan beberapa baju cucian kedalam keranjang.

"Mana mama?" Abi balik bertanya dengan sinis.

"Diatas, mungkin."

Tanpa mengucap sepatah katapun, Abi langsung kembali menutup pintu dengan kasar dan berjalan cepat menaiki tangga menuju kamarnya.

Dan benar. Ibunya ada disana. Duduk disamping kasur sambil memperhatikan sebuah figura berisi foto Abi kecil yang menggemaskan.

"Ma?"

Wanita itu menoleh dan segera menghampiri Abi dengan wajah khawatirnya. "Ya ampun, nak, kamu baru pulang? Mama nunggu kamu daritadi,"

"Mama nangis?"

Ibunya langsung mengalihkan pandangan. "Tadi mama liat foto kamu waktu kecil, lucu, sekarang udah--"

"Gara-gara dia?"

Melihat ibunya yang mencoba tegar meskipun tak pelak airmatanya kembali turun, hati Abi memanas. Membara, rasanya. Bergemuruh akan amarah yang sudah tak tertahankan.

Orang itu meyakiti ibunya, untuk yang kesekian kali.

"Kamu belum makan, kan? Tadi mama masak--"

"Cukup, ma! Udah!" Seru Abi emosi.

"Bisa nggak, mama berhenti pura-pura kuat didepan aku kayak gini? Aku tau mama sedih, mama rapuh! Bilang, ma, bilang!"

"Abang, mama gak mau kamu terbebani dengan masalah kami. Mama cuma pengen kamu menjalani hidup yang ceria, seperti anak-anak lain--"

"Menurut mama aku bisa bahagia disaat mama kayak gini? Enggak, ma! Aku udah bilang, mama pisah aja sama orang itu! Percuma! Dia bisanya cuma nyakitin hati mama aja!"

"Enggak, nak. Mama gak bisa. Mama nggak punya penghasilan apa-apa buat membiayai sekolah kamu. Kita tetap butuh papa--"

"MA! AKU BISA KERJA! AKU BISA CARI UANG! BUAT AKU, BUAT MAMA! AKU NGGAK SUDI TERUS-TERUSAN BERGANTUNG SAMA BAJINGAN ITU--"

PLAK!

"ABI! JAGA MULUT KAMU!"

Cowok itu mematung ditempat. Airmatanya mulai mengalir seiring tangis ibunya yang kian pecah.

"Terserah mama. Aku capek sama rumah ini. Kebanyakan bullshit." Lantas Abi pergi keluar kamar dan menuruni tangga dengan hati yang hancur.

"Abi, mau kemana?"

Tanya wanita itu di ruang tengah. Wanita yang ia benci karena telah menghancurkan kebahagiaannya.

"Bukan urusan anda."

Ayahnya menyahut. "Abi, jawab yang benar. Kamu mau kemana? Ini sudah malam,"

"Mencari tempat yang normal. Saya muak dengan rumah ini." Jawabnya sinis sambil menutup pintu dengan kasar hingga terdengar dentuman besar.

Ayahnya pasti sedang mengutuknya sekarang. Masa bodoh. Dia juga ingin mengutuk keluarga yang tidak normal ini.

Tiga bulan lalu, ayahnya memutuskan untuk menikah lagi. Poligami, dengan seorang sekretaris dari perusahaannya. Hanya karena harta, semudah itu dia mendapatkan restu istrinya, ibu Abi. Abi? Tentu saja tentangannya hanya dianggap angin lalu.

Akhirnya, seperti inilah yang terjadi. Ibu sering menangis dan Abi tidak betah dirumah. Bukan hanya itu, rasanya Abi ingin mengajak ibunya keluar rumah, pergi sejauh mungkin dan memulai kehidupannya dari awal. Tapi sekeras apapun dia mencoba, ibunya akan menolak dengan alasan tidak ingin pendidikan putranya itu terhenti. Persetan dengan harta, Abi pikir. Dia tidak peduli jika dia hidup miskin dan tak berpendidikan. Yang penting hidupnya bahagia. Itu saja.

Kadang Abi benci mendengar cerita-cerita tentang cinta sejati dan kesetiaan. Semuanya hanya omong kosong. Orang terdekatnya tidak ada yang membuktikan bahwa itu semua nyata. Itu adalah sesuatu yang semu. Sesuatu yang dikarang, khayalan dan tak nyata.

Hujan malam ini seakan mewakili suasana hatinya. Dingin dan bergemuruh. Tidak peduli dengan tubuhnya yang basah kuyup, dia akan terus berjalan hingga menemukan tempat untuk bermalam. Tempat sepi yang aman, yang pastinya tidak ada kebohongan yang memuakkan. Tidak seperti rumahnya.

•••

sandyakalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang