24. Hilang Kesempatan

8.1K 680 100
                                    

Pagi-pagi harus terbangun oleh ulah Pak Kaji yang datang untuk menjemput Ayu, mereka mau mendaki gunung Semeru, cuma sampai Ranu Kumbolo sih. Perempuannya hanya Ayu, Ragil dan Azzam, lainnya katanya mau jalan-jalan dulu, sementara 4 orang, aku, Gisel, Ina dan Sari akan pulang lebih dulu.

Aku dan Gisel masih berbaring, malas-malasan mau bangun lagi, habis sholat subuh. Sari dan Ina malah masih ngebo di depan kamar, baru bangun setelah Pak Kaji datang.

"Tidur di luar, Sar?" Tanya Pak Kaji terdengar dari dalam.

"Iya, di dalam nggak muat."

"Semalam, Sar, Sar, aku nyetir hampir nabrak truk. Mau mendahului tapi nggak sampai, tipis banget itu, kalau sampai salah nyetir semalem aku sudah di rumah sakit. Pak Alfin sampai teriak, 'Eh, santai kamu, Mid!', aku bilang aja, 'Eh, santai to, Fin, Fin' tahu sendiri lah aku sama Pak Alfin itu kaya temen dekat," cerita Pak Kaji membuatku membuka mata dan menahan tawa.

"Eh, iya, Pak?" Sari terdengar antusias.

Gisel pun membuka matanya.

"Sopir Jawa Timuran gitu sih, ngeri, Pak Alfin aja teriak-teriak."

"Buahahaha," tawa Gisel cukup lebar, padahal selama ini tidak bisa tertawa semacam itu.

Aku pun mengikutinya tapi tawaku lebih bervolume rendah walaupun perut sampai sakit. Ya memang kan kemarin hampir menabrak truk tapi yang di depan Pak Alfin, yang nyetir Pak Alfin, dan itu santai sih, tidak begitu panik Pak Alfinnya. Pas Pak Kaji yang nyetir kan cuma mau nabrak sepeda motor, itupun tidak begitu mengerikan dan berbahaya. Suka dilebih-lebihkan.

"Njir, pagi-pagi udah ndobos teori Pak Kaji kae, Dik, Dik," gumam Gisel tidak bisa menahan tawanya.

Ndobos itu semacam omong kosong, jadi teori yang hanya omong kosong dari Pak Kaji.

"Sumpah, Kak, nggak kaya gitu ceritanya, ngakak, pagi-pagi udah cari sensasi," sahutku sedikit lirih, takut-takut terdengar dari luar.

"Wah, seru dong, Pak. Pinter amat nyetirnya," puji Sari sambil berjalan masuk ke dalam kamar membawa selimut besar dan diikuti oleh Ina.

Sampai di dalam, mereka menutup pintu dan tertawa selebar-lebarnya. "Pak Kaji gendeng!" Mereka pun kompak sekali.

"Kalian percaya? Aslinya nggak gitu. Aku nggak tidur sama sekali pas pulang kemarin, jadi aku tahu semuanya. Nggak kaya gitu ceritanya, hahaha."

"Sudah kuduga, dia itu nggak mungkin  seberani itulah. Dia kaya gitu cuma biar dipuji aja, ngakak!" Ina pun paham akhirnya.

Sambil mentertawakan Pak Kaji, sambil mendengarkan Ayu fan Pak Kaji persiapan berangkat mendaki, mereka juga harus pamit sama Bapak dan Ibu.

Sampai pukul 07.00 WIB listrik belum juga menyala, ini kata Inul bisa jadi 24 jam mati lampu. Dia dapat informasi dari temannya yang bekerja di PLN. Bayangkan, mati lampu 24 jam? Dan ini baterai ponsel sudah mati semua, tidak ada yang bisa hidup kecuali punya Sari. Kemarin terakhir melakukan pengisian ulang di rumah Fajar. Itupun tidak bisa penuh karena waktu memang singkat. Kembali ke rumah dengan harapan bisa mengisi daya sebelum pulang eh belum nyala juga.

Dan hari ini kami putuskan untuk pulang, sebenarnya pulang ke Solo baru besok pagi jam 7, sayangnya kalau jam 7 berangkat kita harus tukar tiket dulu sementara dari Senduro ke stasiun Klakah 1 jam lebih, otomatis harus berangkat pagi-pagi banget. Karena tidak mau panik di pagi hari, jadi kita putuskan hari ini akan menginap di rumahnya saudara si Sari di Ranuyoso, Lumajang. Kami berangkat ke sana insyaallah sore hari.

3 Agustus 2018, akhirnya kami harus berpamitan dengan beberapa orang tetangga, apalagi seperti Mak To, yang tiap hari menyapa kami, tiap malam jika kelaparan malas masak Mak To yang kasih makan. Belum lagi ke Mbak Las yang dengan semangatnya mau ikut kita senam tiap sore. Ada juga seorang Ibu yang sampai sekarang hanya kita panggil dengan Ibunya Nuril tanpa tahu nama aslinya, tahu nama anaknya saja.

Love in Lumajang [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang