Chapter 11

5.6K 230 0
                                        

Naina duduk di pojokan kamarnya, memeluk lutut sambil menggigit bibirnya yang bergetar. Air mata yang sejak tadi menggenang tak kunjung berhenti mengalir.

Tangannya berulang kali menggenggam ponsel, mengetik pesan panjang hanya untuk segera menghapusnya lagi. Dia ingin meminta maaf, ingin menjelaskan, ingin tahu apakah Reigha masih marah atau tidak.

Tapi, apa gunanya? Dia tahu Reigha tidak akan membalas.

Di sisi lain, Reigha duduk di kamarnya yang remang-remang, tatapannya terpaku pada layar laptop.

Esok harinya, Naina yang masih terjebak dalam kesedihan, terlonjak kaget saat sesuatu yang dingin menyentuh pipinya. Dia menoleh cepat dan mendapati Reigha berdiri di sampingnya, menekan kaleng minuman dingin ke wajahnya dengan ekspresi datar.

"Sudah ku maafkan," kata Reigha singkat.

Mata Naina melebar, napasnya tertahan sejenak. Dia menatap pemuda itu dengan ragu, memastikan bahwa dia tidak salah dengar.

"Benarkah…?" suaranya bergetar, penuh harap.

Reigha menghela napas pelan, meletakkan minuman itu di tangan Naina. "Kalau aku bilang begitu, ya berarti begitu."

Naina merasakan kehangatan menjalar ke dadanya. Seolah beban besar yang menekannya sejak semalam tiba-tiba menghilang.

Dia menggenggam erat kaleng itu, menundukkan kepala untuk menyembunyikan senyumnya yang mulai merekah.

"Terima kasih…" bisiknya pelan.

Reigha tidak menjawab, hanya mengangkat satu alisnya sebelum menatap langit yang cerah di atas mereka.

Seolah tak terjadi apa-apa semalam.

Seolah semuanya baik-baik saja.

Reigha menyandarkan tubuhnya ke pagar atap, menatap Naina dengan ekspresi datar. Seolah-olah dia hanya bertanya asal saja, dia membuka suara, "Kau menangis semalaman?"

Naina buru-buru menggeleng. "Tidak," jawabnya cepat, suaranya sedikit serak.

Reigha mengangkat alis, menahan tawa sinis yang hampir keluar. Bohong. Matanya merah dan bengkak, suaranya jelas menunjukkan jejak tangisan. Dan dia tahu—karena dia menyaksikan semuanya.

Dia mendekat, mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah Naina. "Oh ya? Matamu bilang lain," ucapnya, suaranya rendah tapi tajam.

Naina menunduk, menggigit bibirnya.

Melihat itu, Reigha semakin muak. Dia tidak mengerti, untuk apa Naina berbohong padanya? Seolah dia tidak tahu segalanya. Seolah semua yang dia lakukan semalam—mengawasi, mendengar, memastikan gadis itu tetap bernapas—tidak ada artinya.

Dia menghela napas panjang, lalu menarik diri, menegakkan tubuhnya kembali. "Lain kali, kalau mau bohong, setidaknya buat itu lebih meyakinkan," katanya dingin, sebelum meneguk minuman dingin yang tadi dia bawa.

Naina hanya diam, tak mampu membalas.

Sejak saat itu, Naina mulai menyadari sesuatu—sekecil apa pun kebohongan yang ia ucapkan, Reigha pasti mengetahuinya. Tidak ada yang bisa ia sembunyikan.

Anehnya Reigha selalu tahu. Entah bagaimana, dia bisa membaca ekspresi, gerak-gerik, bahkan mungkin detak jantungnya.

Jadi, saat Reigha menatapnya dengan mata tajam itu lagi, Naina tidak punya pilihan selain jujur.

"Aku memang menangis semalaman," akhirnya ia mengaku, suaranya lirih.

Reigha hanya menatapnya, lalu mengangkat bahu seolah jawabannya sudah jelas sejak awal. "Bagus," katanya santai. "Setidaknya kau mulai belajar untuk tidak membuang waktuku dengan kebohongan murahan."

Reighaard Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang