Satu

13 0 0
                                    

Sinar matahari pagi menerobos masuk melewati celah gorden abu - abu yang masih menutupi jendela di samping kanan kamar besar dengan nuansa minimalis itu.

Seorang gadis remaja 18 tahunan masih meringkuk nyenyak di bawah gulungan selimut tebal nan hangat.
Matanya terpejam rapat dan mungkin setengah kesadarannya masih berada di alam mimpi.

Berbagai macam boneka tergeletak berantakan di setiap sudut ranjang berukuran besar itu.
Jika di perhatikan, penampakan ranjang itu sudah bagaikan kapal pecah.

Gadis dengan rambut panjang terurai yang menutupi sebagian wajahnya itu menggeliat perlahan.
Matanya terbuka perlahan.
Di liriknya jam dinding bulat di samping jendela.
Matanya sedikit memicing saat sinar matahari mengenai wajahnya.
Silau.

Sudah pukul 8 pagi.
Kebiasaan bangun siang sudah melekat di dirinya.
Apalagi di hari Sabtu seperti ini.
Bagaikan hari kemerdekaan.
Dengan malas di singkirkannya selimut tebal itu begitu saja.

Dia mulai beranjak dari singgasananya semalam tadi.
Di tatapnya bayangan dirinya di dalam cermin besar di sudut ruangan.
Rambutnya berantakan tak karuan, baju tidurnya terlihat sangat kusut.

Yaaaahhh...
Itulah aku. Aku si gadis pemalas dan manja.
Namaku Tamara Aldera. Saat ini usiaku masih 18 tahun. Kelas 3 SMA.
Aku terbiasa dengan kehidupan seperti ini.

Sebagai anak tunggal. Aku memang sangatlah manja.
Apalagi Mamah dan Papah tak pernah komentar apapun juga tentang kebiasaan buruk ku ini.

Aaarrggghhh..
Ya sudahlah. Tak perlu di bahas. Lagi pula itu hanya salah satu keburukan dari sekian banyak kebaikan yang ada pada diriku.
Hahahaha.. Itulah anggapan yang salah namun selalu aku benarkan dalam hatiku.

Ku langkahkan kakiku menuju jendela kamarku. Kusingkap lebar gorden yang menutupi jendela besar di hadapanku itu.

Seketika seisi kamarku menjadi terang benderang.
Ku buka jendelanya, ku hirup nafasku sedalam mungkin.
Sampai rasanya paru - paru ku penuh sesak oleh udara yang mengisi setiap rongganya.
Ku hembuskan perlahan, dan ku ulangi beberapa kali.

Tinggal di daerah yang masih jauh dari polusi itu memang menyenangkan.
Terasa lebih natural dan segar.

Nyanyian burung - burung yang sedang melompat perlahan dari ranting ke ranting memanjakan pendengaranku.
Aku selalu menyukai suasana seperti ini.
Semenjak kecil aku selalu berkhayal menjadi seorang putri cantik yang dapat mengerti arti dari setiap kicauan itu.
Aku kembali tersenyum mengingat angan - angan masa kecilku itu.

Aku keluar dari kamarku dan mulai menuruni tangga menuju lantai dasar rumahku.

Kepalaku mulai celingukan mencari Mamah atau Papah.
Namun, aku tak mendapati bayangannya sama sekali.

Rumah besar ini terasa sangat sunyi.
Sepertinya aku sendirian lagi.
Papah memang selalu sibuk dengan kebun tehnya.
Sedangkan Mamah selalu saja menghabiskan waktunya untuk berpergian bersama teman - teman arisannya.
Tante - tante genit.
Begitulah aku memberi julukan untuk semua anggota geng Mamah.
Dan ujung - ujungnya aku selalu mendapat omelan dari Mamah setiap aku menyebut temannya seperti itu.

Aku sudah tidak asing dengan kehidupan yang seperti ini.
Malah aku nyaman. Jadi apapun yang aku lakukan adalah semua hal yang aku sukai.
Tanpa ada paksaan.
Yang penting uang saku ku terpenuhi dan semua kebutuhanku disediakan.
Aku tak pernah protes atau menuntut hal lain.

Ku ambil sebotol air dingin dari dalam kulkas besar di hadapanku.
Langsung ku teguk tanpa menuangnya ke gelas.
Jika saja Mba Nenti tahu, aku sudah di ceramahi dari a - z.
Begitulah Mba Nenti, pembantu di rumahku yang sangat peduli dengan kebersihan.
Sifatnya yang sangat disiplin membuat seisi rumahku selalu tertata rapih.
Walaupun penghuninya seperti Aku, Mamah dan Papah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 16, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Beloved, ThomasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang