Part 3 | Senandung Malu

8.9K 611 41
                                    

Bismillah.


“Bunda!’’ panggil Akmal yang duduk di sofa ruang TV bersama bundanya. Ayahnya telah berangkat dinas kemarin sore. Kini hanya tinggal mereka berdua di rumah.

“Hm..’’ gumam Atika-Bunda Akmal yang sudah larut dengan acara TV di depannya.

“Bunda tahu gak sekolah MA yang ngadain akselerasi didaerah sini?’’ tanya Akmal dengan serius.

Dirinya bersebelahan duduk dengan bundanya di sofa dengan buku yang sesekali dia baca. Ternyata cukup mudah bersahabat dengan buku. Pikirnya setelah beberapa hari ini berteman dengan benda yang memuat berlembar-lembar kertas dan tulisan.

Atika mengerutkan dahinya. Putus sudah fokusnya terhadap layar besar didepannya. Dia heran, apakah ini benar pertanyaan dari putranya?

“Kenapa bertanya sekolah itu? Mau lanjut ke MA?’’ tanya Atika.

Akmal bergumam sejenak. “Minat!’’ jawab Akmal spontan.

Terlihat bundanya kaget mendengar jawabannya.

Namun, seketika tatapan itu melembut. “Maasyaa Allah, beneran kamu minat masuk MA, Akmal?’’

“Iya, Bun. Ada nggak disini MA yang ngadain program itu?’’ tanya Akmal lagi.

“Bunda juga tidak paham betul. In syaa Allah, nanti bunda tanyain.’’

Dirinya sudah bersyukur banyak jika putranya mau masuk sekolah yang memfasilitasi ilmu agama. Apalagi putranya bersikukuh mengambil akselerasi. Tunggu, untuk apa harus akselerasi?

“Kenapa kamu menginginkan akselerasi?’’

“Biar bisa nyingkat sekolah kali, Bun. Hemat waktu gitu,’’ jawab Akmal dengan santai.

Namun, dibalik tersirat harapan besar untuk masa depannya. Matanya masih fokus dengan satu halaman buku, tak menghiraukan bundanya yang bertanya-tanya besar akan dirinya. Terkesan tiba-tiba akan perubahan sangat drastis dari dirinya, mungkin begitu pikir bundanya saat ini.

Atika semakin heran. Putra semata wayangnya ini layaknya sudah berbalik seratus delapan puluh derajat kepribadiannya. Kenapa bisa berubah seperti ini? Bukannya kemarin- kemarin hanya jengkel dan kecewa saja yang dia rasakan ketika menghadapi putranya ini.

Atika menghela napasnya, sudah tidak sampai otaknya memikirkan perubahan putranya. Mungkin inilah wujud doa yang telah dia ramai kirimkan dan syukur adalah hal terbaik untuk berterimakasih kepada Allah.

"Ya sudah kamu belajar dulu. Bunda mau ke atas.’’

Akmal hanya mengangguk.
Atika kembali heran. Putranya ini ternyata juga tidak banyak bertingkah. Dia harus segera memberitahu suaminya perihal ini!

***

Seorang gadis ialah milik ayahnya. Sebelum ada hak yang mengambil alih kepemilikan tersebut. Hak ayah itu berubah ketika sang gadis mulai menentukan arah masa depannya bersama seseorang yang dia yakini mampu menjadi pemimpinnya, menjadi imamnya, dan pemandu hidupnya hingga menuju surgaNya. Berat memang, tugas yang diemban seseorang yang berani mengambil alih mutiara berlian milik seorang ayah itu. Jadi, bukanlah sembarang lelaki dan bukan pemilik seluas prestasi. Prestasi materi, keturunan, fisik ataupun yang menyangkut nikmatnya dunia. Namun dalam hal ini justru prestasi yang dimuliakan adalah seorang lelaki yang memiliki prestasi dalam ilmu agama. Bukannya harus juara dai dan tilawah, setidaknya dia sepenuhnya banyak mengerti tentang ilmu agama, tutur katanya baik dan mampu memperlakukan seorang perempuan dengan baik pula. Itulah prestasi yang harus dimiliki seorang lelaki yang terbalut sholeh dalam dirinya. Lelaki yang memenuhi kriteria seperti itulah yang cukup untuk mengambil alih tugas dan hak ayah dari seorang putri yang sudah lama dibesarkannya.

Muara Cinta Zahra [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang