02

108 15 12
                                    

Aku tanya, dimana payungmu?

Hujan masih turun cukup deras saat suara Yoonji mengudara di dalam rumah kecil sederhana bercat cokelat tua yang berdiri kokoh diantara rumah-rumah lain dan dihimpit sebuah rel kereta api. Dibawah sebuah lampu jalanan yang tidak telalu terang namun juga tidak redup, remang-remang. Beruntung pemerintah sekitar tidak mencopot atau memutus aliran listrik di area ini. Meski hanya beberapa yang bisa menyala, tetap saja berguna 'kan untuk penerang jalan. Rumah-rumah disana hanyalah rumah tua sebenarnya, tapi cukup hangat dan nyaman untuk dijadikan tempat tinggal sebuah wadah yang disebut keluarga.

"Aku pulang." Kata Yoonji. Disusul bunyi 'klak' dari saklar lampu yang ditekan dan bunyi gedebuk pelan yang berasal dari sepasang sepatunya yang dilepas asal. Jika Jimin tau, dia pasti akan mengomel lagi. Jadi Yoonji cepat-cepat membereskannya dan meletakkanya dengan rapi di rak.

Aroma makanan—roti panggang yang dioles selai kacang dan cokelat hangat menyapa rongga hidung Yoonji tatkala ia mengayunkan kedua kakinya masuk semakin jauh kedalam rumah. Menuju ruang makan sederhana yang nyaris menyatu dengan ruang televisi, hanya dibatasi dinding tanpa daun pintu.

Yoonji melihat rumahnya rapi, seperti biasa. Lalu senyum Jimin yang tulus menyambutnya disana. Didekat dinding. Dia tengah bersandar ke samping dengan noda tepung di pipi kanannya dan apron hitam yang nyaris berubah warna menjadi putih sepenuhnya karena tepung yang sama. Dia bereksperimen lagi, sudah pasti.

"Tumben, tidak terlambat." Jimin mengulurkan tangan untuk menurunkan tas ransel di bahu Yoonji. Yoonji membiarkannya tanpa berniat menolak sedikitpun. Membalas senyum Jimin sementara laki-laki itu tengah berjalan ke sudut ruangan. Menekan saklar dan cahaya dari lampu-lampu kecil didekat televisi, terbuka. "Kau mau mandi dulu atau makan dulu?"

"Makan."

Jimin bergumam sambil berkacak pinggang. Lantas berkata, "Duluan saja, aku harus bereskan sesuatu dulu."

Sebenarnya Yoonji lapar, sudah sangat lapar malah. Tapi karena dia penasaran dengan apa yang mau Jimin bereskan, dia jadi mengurungkan niat untuk mendekati roti panggangnya terlebih dahulu. Memilih menggerakkan tubuhnya untuk mendekat pada Jimin yang masih kesal luar biasa, tampaknya.

"Ada apa?"

"Tau, 'kan," Kepalanya menoleh kesamping untuk melihat wajah Yoonji. "Tikus-tikusnya menjengkelkan. Mereka pintar sekali. Aku sudah berikan makanan di perangkapnya dan lihat apa? Dia malah makan sabun." Jeda. Jimin kelihatan ragu, alisnya nyaris menyatu. "Tidak. Dia bodoh. Kenapa makan sabun?" Lalu dia jadi semakin bingung karena pertanyaan retoris yang dia lontarkan sendiri.

"Lupakan, Jim. Kita urus saja nanti. Sekarang kita makan dulu. Kau belum makan, 'kan?"

Jimin menggeleng.

Yoonji menarik lengan kekar Jimin untuk ia dekap. Kemudian setelah laki-laki itu mengacak gemas rambut Yoonji, mereka melangkah bersama menuju ruang makan. Saat itulah aroma terbakar, tidak, dengan kata lain, aroma gosong menguar begitu saja. Mendesak-desak masuk untuk menyapa lebih dulu ke hidung Yoonji dan Jimin.

"Kau buat apa?"

"Muffin." Jimin mengusap tengkuk dengan satu tangannya yang bebas. Canggung. "Sepertinya sudah gosong. Padahal aku mau beri kejutan selamat karena kau sudah dapat pekerjaan baru."

Yoonji tertawa, pelan tapi terdengar begitu renyah di telinga. "Aku sudah senang disambut dengan senyummu saat pulang tadi. Jadi, tidak masalah." Jimin menarik kursi. Mempersilahkan Yoonji untuk duduk disana sementara dia sendiri beranjak untuk membuang kue-kue gosongnya kedalam tong sampah. "Kita bisa buat bersama-sama. Lain kali, oke?" Tampaknya Jimin masih sedikit kesal. Mungkin, kecewa sebab dia tidak bisa mewujudkan apa yang diinginkannya. Manusia, 'kan selalu begitu. Ingin semua yang dia inginkan terwujud agar membuat orang-orang disekitarnya senang, bahagia. Tapi semuanya butuh proses, bukan? Tidak serta merta pohon bisa menjadi besar tanpa adanya bibit-bibit kecil yang ditanam dan gedung menjadi gedung tanpa harus susah payah dibangun.

Yoonji lantas tersenyum selebar mungkin sambil memangku wajahnya dengan tangan. Memperhatikan Jimin yang duduk dengan bibir manyun. Lucu, sih. Tapi tetap saja Yoonji tidak jadi ikut senang ataupun gemas saat melihatnya begitu karena sebab akibat muffin gosong tadi.

"Sudahlah." Kata Yoonji. "Jangan dipikirkan, Park Jimin. Aku tidak apa-apa, kok."

Jimin mendengus. "Aku mau—setidaknya sekali saja membuatmu bahagia karena kejutan yang kubuat." Dia menjeda sebelum melanjutkan, "Itu 'kan janjiku. Membuatmu bahagia."

"Aku bahagia memilikimu, rumah ini, televisi tua kita. Semua yang kau berikan sudah menjadi kebahagiaan bagiku, Jim."

Jimin terkejut. Tidak terlalu kentara, sih. Tapi Yoonji bisa lihat bagaimana kedua pupil matanya sedikit melebar setengah sekon yang lalu. Lantas mata dan bibirnya membentuk kurva. Perlahan-lahan berubah menjadi bentuk bulan sabit yang nyaris sempurna. Sebelum pada akhirnya bulan-bulan itu lenyap perlahan pula dan sebaris pertanyaan yang sama kembali terlontar dari celah bibir tebalnya, "Kenapa kau mau menerimaku sampai sedalam ini?" Disusul dengan pernyataan yang sama pula, "Aku gay. Dan aku transgender." []

an: jadi, yang mana yang lebih surprise? Mereka tinggal bareng atau pernyataan Jimin? Atau malah gaada yang ngagetin, wkwk:))

A Glass of Happiness. [pjm]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang