Sunyi.
Sepi.
Walaupun ia tau ada seseorang yang mengisi hatinya, dua kata itu tetap saja menghantui dirinya.
.
Pagi ini Seoul terlihat sepi. Hanya ada beberapa orang berlalu lalang karena takut terlambat. Jihoon— yang duduk dibangku taman hanya diam termangu melihat keadaan sekitarnya. Jam sudah menunjukkan jam 8, tapi tak ada seniat pun dia berjalan menuju ke sekolahnya.
Jihoon menghela nafas, tau jika ia harus menunggu, lagi dan lagi, tanpa kepastian.
Satu jam.
Dua jam.
Tiga jam.
Tidak terasa jam sudah menunjukkan angka 4, yang artinya ia menunggu 8 jam tanpa bergerak. Jihoon tertawa keras, menertawakan keadaan yang sangat tidak adil baginya. Ia meremas handphone miliknya kuat kuat saat membaca pesan singkat dari Woojin— kekasihnya, yang baru berkata ia lupa dan meminta maaf.
Perlahan, tawa kosong itu berubah menjadi isakkan kecil yang menyakitkan.
Ia terbodohi lagi.
Dan menyakitkannya lagi, ia mempercayainya lagi.
Tubuhnya bergetar hebat karena tidak kuat menahan isakkan lagi.
Dan saat itu juga, ia sadar ia tidak bisa menahan hubungan ini lagi, walaupun ia tau ia sangat mencintai Woojin.
Dan untuk pertama kalinya, ia menyerah akan keadaan.
.
Sore perlahan menjadi malam. Seoul mulai menutup awan terang dan menggantinya dengan awan gelap. Dengan langkah gontai Jihoon memasuki café yang sering dikunjunginya dengan Woojin saat mereka masih lengket.
Ia duduk di tempat paling pojok yang menghadap keluar. Ia mendongak kearah bulan sabit yang terlihat cantik malam ini, dan tersenyum kecil merasakan Cappuccino nya terasa lebih manis setelah melihat bulan sabit.
Ia merenung, memikirkan apa ia bisa menjadi bulan yang sangat mencintai matahari? Yang hanya bertemu disaat fajar kalau sempat? Dan meninggalkannya lagi sampai fajar kembali tiba?
Pegangannya digagang gelas menguat, ia menghela nafas, karena ia tau ia tak sekuat bulan.
Terlalu lama melamun membuatnya tidak sadar meja sebelahnya terisi, dengan lelaki bertubuh besar yang memiliki ekspresi seperti Jihoon. Lelah.
Jihoon kembali menyesap Cappuccino nya dan tidak sengaja melirik meja sebelah. Ia mengernyit bingung saat melihat orang disebelahnya selalu menghela nafas kasar.
Jihoon dengan segala keingin-tahunya segera berjalan ke meja sebelah sambil menenteng gelas kopinya, dan duduk dihadapan orang itu.
"Hai." sapa Jihoon, mencoba ramah.
Namun bukan sapaan balik yang ia dapatkan, melainkan helaan nafas kasar, lagi dan lagi.
Jihoon merengut. Tidak sopan, batinnya.
"Hey, you okay?"
Pemuda itu menggeleng, lalu mendongak.
"Dia, memutuskanku, karena tau aku cemburu dengan temannya. Hahahaha. Itu lucu sekali. Dan yang paling lucu adalah ia menyuruhku untuk mencari pasangan yang tidak memiliki banyak teman. Hahahahaha."
Jihoon terenyuh. Ternyata ada yang lebih menyakitkan daripada menunggu tanpa kejelasan.
Jihoon memberanikan diri untuk mengelus tangan lelaki dihadapannya. Terlihat lerbandingan yang jelas, karena tangan Jihoon sangat halus dan tidak menonjolkan urat seperti lelaki dihadapannya.