Chapter 12

5.4K 237 10
                                        

"Jangan cari masalah lagi denganku." Reigha menatapnya tajam sebelum berbalik pergi, meninggalkan Adrian yang masih mencoba mengatur napasnya.

Tanpa peringatan, tinju Reigha melayang tepat ke mulut Adrian. Adrian tidak sempat menghindar—pukulan itu telak mengenai bibirnya, membuat rasa logam darah langsung memenuhi mulutnya.

Adrian tersentak ke belakang, matanya melebar sesaat sebelum refleksnya menahan diri agar tidak jatuh. Dia meraba sudut bibirnya yang mulai berdarah, sementara Reigha berdiri di depannya dengan ekspresi yang nyaris tanpa emosi.

"Mulutmu itu sumber masalah," Reigha berkata dingin. "Kau pikir aku akan memaafkanmu hanya karena kau minta dihajar? Jangan bodoh."

Adrian menelan ludah, menahan sakit yang mulai menjalar dari bibirnya. Tapi dia tetap teguh, menatap Reigha dengan mata yang masih menyiratkan tekad. "Aku pantas mendapatkannya. Tapi jangan salahkan Naina."

Reigha mendengus pendek. "Naina sudah belajar dengan caranya sendiri. Dan kau—" dia mendekat, suara rendahnya hampir seperti ancaman "—jangan pernah mencoba mendekatinya lagi."

Setelah berkata demikian, Reigha berbalik pergi begitu saja, meninggalkan Adrian yang masih berdiri di tempat, merasakan darah hangat yang terus mengalir dari bibirnya.

Adrian mengusap bibirnya yang berdarah sambil meringis. "Bocah ingusan macam apa yang punya tenaga segede itu?" gumamnya, masih terkejut dengan kekuatan Reigha.

Baru sekarang dia benar-benar memahami seperti apa rasanya menjadi orang yang dihajar. Dulu, dia yang selalu menang saat berkelahi—para perundung yang pernah dia buat babak belur pasti merasakan sakit yang sama seperti yang dia rasakan sekarang.

Sementara itu, Reigha berbalik menatapnya dengan ekspresi datar, nyaris bosan. "Aku bahkan belum benar-benar memukulmu," katanya santai. "Kalau aku serius, gigi-gigimu pasti sudah rontok. Malu kan kalau harus pakai gigi palsu di umur segini?"

Nada bicaranya terdengar seperti meremehkan sekaligus mengasihani, membuat Adrian merasa semakin kesal. "Sial..." dia menggerutu, "kau ini apa, bocah setan?"

Reigha hanya tersenyum tipis—senyum yang lebih terasa seperti peringatan daripada keramahan—lalu berbalik meninggalkannya. Adrian menatap punggungnya yang menjauh, akhirnya sadar bahwa pemuda ini bukan orang biasa. Ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar murid sekolah yang posesif pada pacarnya.

Reigha sebenarnya tidak peduli pada permintaan Adrian untuk dihajar. Dia hanya butuh alasan untuk menghajar bibir menjijikannya—bibir yang berani-beraninya menyentuh Naina.

Seketika pukulan itu mendarat tepat di mulut Adrian, tanpa ragu, tanpa peringatan. Sebuah pelajaran bahwa ada harga yang harus dibayar untuk menyentuh sesuatu yang bukan miliknya.

Adrian terhuyung mundur, mengusap darah yang keluar dari bibirnya. Matanya menatap Reigha dengan campuran emosi—marah, kesal, tapi juga sedikit… hormat? Dia akhirnya mengerti. Reigha bukan hanya marah. Dia murka.

Sementara itu, Reigha hanya berdiri dengan tatapan dingin. "Rasanya bagaimana?" tanyanya santai, seolah ingin Adrian merasakan sendiri betapa menjijikkannya disentuh tanpa izin.

Adrian terdiam, masih merasa sedikit terhina, tapi tidak bisa menyangkal bahwa Reigha benar. Akhirnya, dia menghela napas dan tersenyum miring. "Baiklah, aku pantas mendapatkannya."

Reigha tidak menjawab. Dia hanya berbalik pergi, meninggalkan Adrian yang masih berdiri di tempatnya, dengan satu hal yang pasti—tidak akan ada lagi yang berani menyentuh Naina tanpa izin.

Tapi, Reigha tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, dia kembali. Dia sudah mendapat izin, dan Adrian pun menyetujuinya. Maka, tanpa ragu, setiap bagian yang berani menyentuh Naina akan dihajarnya habis-habisan.

Reighaard Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang