BURUT SI BEROT

24 0 0
                                    

       Kapal Bandong yang membawa kayu-kayu dari hulu baru melintasi sungai Kapuas yang jernih kecoklatan. Berot yang sedang berdiri di atas jamban terapung di sisi sungai di daerah Kampung Bansir, mengalihkan pandangannya dari kapal tersebut yang semakin mengecil, ke arah seberang sungai selebar seratus meter yang terdengar hiruk pikuk.        Buruh pabrik di daerah Siantan yang mulai keluar, kendaraan-kendaraan bermotor yang mengaung-ngaungkan gasnya di tengah kemacetan kota, hingga akhirnya matahari yang melintasi kota khatulistiwa ingin bersemayam, belum juga membuat Berot menceburkan tubuhnya ke sungai. Dia menunggu langit kota Pontianak gelap.

            "Rot, ngape kau tadak mandi ? Dah gelap bah, maghrib pun udah masok," tanya Itam, salah seorang temannya, dengan logat Melayunya yang kental.

            "Iye, nunggu gelap. Abis tuh baru aku mandi sembahyang."

            Itam tampak bingung. Tak biasanya Berot mandi malam. Teman sepermainannya semasa anak-anak dan remaja itu beberapa hari ini didapatinya sering mandi menjelang maghrib. Biasanya, mereka mandi jam lima sore atau selepas Ashar. Kalau mandi pagi pun setelah terang tanah. Seperti kebiasaan, mereka mandi hanya menggunakan cawat, tak perduli bila ada perempuan di jamban sebelahnya yang sering juga hanya memakai kemban.

            Ketika langit mulai gelap dan lampu mulai menghiasi pesisir sungai salah satunya dari Masjid Jami peninggalan Kesultanan Pontianak yang berdiri megah, Berot menyunggingkan senyumannya yang khas. Sudut bibir kanannya tidak sejajar dengan sudut bibir kirinya alias miring. Bukan karena stroke atau riwayat salah jahit akibat kecelakaan, tetapi memang sudah sejak lahir. Itulah mengapa orang-orang memanggilnya Si Berot sejak kecil. Berot alias miring ketika tersenyum. Ketika memasuki usia dimana dia sudah mulai bisa berfikir, dia agak risih mendengarnya. Tapi apa boleh buat, mulai dari keluarga, teman dan orang-orang terdekatnya memanggilnya begitu.

            Berot tidak juga menceburkan tubuhnya ke sungai. Tak seperti biasanya, dia hanya mereguk air sungai untuk membasahi tubuhnya dengan gayung plastik. Masih hanya mengenakan cawat. Kalau sudah kebiasaan, memang susah dihilangkan meskipun dia sudah punya istri. Tapi, main mata dengan cewek yang sedang jalan-jalan di tepi sungai atau yang mandi di dekatnya mulai tak tampak lagi karena memang susah memamerkan tubuhnya yang kekar saat gelap.

            "Ngape kau mandi malam, Rot ?" tanya Pak Ngah yang baru balik dari surau saat Berot kembali ke rumahnya dengan hanya memakai handuk.

            "Nanti bise rematik kayak aku, ni. Lagi pula Maghrib kau nanti habes. Cepat kau mandi sembahyang !" tegas Pak Ngah, tokoh yang dituakan di kampungnya Berot.

            Berot mengiyakan sambil menyalami Pak Ngah dengan tangan kekarnya akibat sering digunakan saat menjadi buruh Pelabuhan Pontianak sejak lima tahun yang lalu. Lalu dia meninggalkan Pak Ngah sambil mengucapkan salam.

***

            Berot masih berleha-leha di rumahnya karena masih menunggu panggilan pekerjaan sejak dia berhenti dari Pelabuhan dua bulan silam. Sementara istri yang disuntingnya dua tahun lalu saat memasuki usianya yang seperempat abad, berjualan jajanan pasar di Pasar Flamboyan selepas Subuh. Untuk mengisi kekosongan, biasanya Berot menjadi makelar tanah. Pekerjaan jenis itu pun hilang timbul. Untung saja dia belum punya anak, jadi beban keluarganya tidak terlalu berat.

            "Berot, ape can kite hari ini?" tanya Itam saat bertandang ke rumah teman baiknya itu.

            "Tadak ade ape-ape, Tam. Kepala aku pun pening mikirkan kerje nih !" keluhnya.

            "Ngape kau tadak balek agik jadi buroh di pelabohan atau jadi tukang ojek?"

            "Tak sanggop, Tam ! Jadi tukang ojek pun tadak ade motornye."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 08, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

BURUT SI BEROTWhere stories live. Discover now