Part 6. Sweetest Ever

1.4K 182 35
                                    

Sedetik, dua detik, dan detik yang lebih banyak lagi, satu-satunya hal yang dipikirkan oleh Joeun hanya bagaimana caranya ia bisa kabur dari belenggu si bedevil berengsek. Pasalnya, ia tidak mungkin lompat dari atas motor dan merelakan dirinya berguling-guling ke aspal, kemudian berkemungkinan untuk dilindas kendaraan lain yang tengah melintas.

Joeun tidak cukup bodoh kendati ia memang beberapa kali ingin mengakhiri hidup. Perkataan Jimin beberapa jam silam jelas memukul kepalanya dengan telak; ia tidak bisa merugikan orang lain jika ingin melenyapkan diri sendiri. Mungkin, ia akan mulai berpikir bagaimana cara bunuh diri yang baik dan tidak akan melibatkan siapa pun. Atau Jimin bisa membantunya setelah ini? Oh, tidak. Joeun baru sadar kembali soal peringatan si pemuda waktu-waktu lalu. Kepalanya mendadak berkedut pusing, tidak sanggup membayangkan apa yang bisa terjadi setelah ini.

Jimin membelokkan motor dengan tajam, lantas memasuki basement sebuah apartemen mewah. Joeun bahkan tahu-tahu bisa menebak jumlah uang yang dimiliki si Park ini; yang pasti lebih banyak berkali-kali lipat dari miliknya. Seketika saja, Joeun jadi ingin memanfaatkan pemuda itu―memeras uang yang ia miliki untuk membayar biaya rumah sakit, misalnya. Namun, gadis tersebut lekas menggeleng. Joeun sudah memiliki pekerjaan lain yang tak kalah kotor, ia jelas tidak ingin menambah rentetan kekotoran yang sudah berkerak pada hidupnya.

Dan satu sentakan Jimin pada tangannya, membuat Joeun lekas tersadar dari lamun yang terlalu banyak mengudara. Ia mengernyit sejenak, tanpa membuat perlawanan, ia mengikuti jengkahan kaki Jimin memasuki bangunan mewah tersebut.

"Tidak perlu tarik-tarik, aku juga tidak berniat kabur." Joeun menukas malas.

Jimin meliriknya, namun tidak berkeinginan melepas genggamannya pada tangan Joeun. Dengusan pelan terkuar. Begitu keduanya memasuki lift, barulah Jimin mengendurkan cengkeraman. Pemuda tersebut menatap Joeun lurus-lurus, sementara yang ditatap hanya mengalihkan pandang tak nyaman. Belum ada konversasi tercipta, suasana yang kelewat hening membuat darah Joeun berdesir aneh. Ia tidak seharusnya menyerah seperti ini. Membiarkan Jimin membawa ke tempatnya dan menurut seperti orang tolol. Joeun yakin apa yang akan terjadi setelah ini tentu saja bukan hal yang baik.

"Hari itu." Suara Jimin terdengar memecah hening. Pemuda itu membagi tatapan penuh selidik yang tampak berbahaya. "Aku melihatmu datang bersama Kang Daniel. Well, wajahmu memang tertutupi sebagian rambut, tapi aku yakin itu dirimu,"―ia menyeringai kecil―"apa hubunganmu dengannya?"

Joeun spontan membelalak. Pipinya seolah ditampar usai menerima kuriositas tersebut. Ia yakin ekspresinya kini sudah seperti maling yang tertangkap basah. Joeun bahkan merasa tubuhnya meremang hebat, mengantar gelenyar panas yang menimbulkan selapis keringat pada tepi kening. Ia tidak berani menatap Jimin seperti sebelumnya―tatapan yang menantang. Joeun justru merasa sangat kecil, bagaimana bisa orang yang paling ia hindari justru tahu satu rahasia terbesarnya?

Bunyi ting pelan agaknya berpengaruh teramat besar untuk Joeun saat ini. Pintu lift yang terbuka adalah penyelamat bagi gadis tersebut. Ia mendesah begitu lega, sebab setelahnya Jimin hanya membawanya menuju ke unit miliknya, alih-alih bertanya semakin banyak. Pemuda itu kembali diam, tampak sedikit berpikir, dan sebelum membuka pintu ruangan, ia berbalik lalu memandang Joeun dalam.

"Aku akan memberimu pilihan," katanya dengan tenang, melepas genggaman tangannya pada milik si gadis. "Kau akan masuk ke dalam atau pergi sekarang?"

Joeun jelas kebingungan, gilirannya yang menatap pada si pemuda dengan penuh selidik. Jimin sudah bilang tidak akan melepasnya begitu mudah, lalu sekarang apa yang tengah ia lakukan?

Sebetulnya, ini adalah kesempatan bagus untuknya kabur. Ia bisa menendang tepat kemaluan Jimin dan lari sejauh-jauhnya. Alih-alih, gadis tersebut justru mendekih meremehkan, "Setelah membawaku paksa ke tempat ini, lalu kau akan membiarkanku pergi tanpa mendapat apa-apa?" Joeun memutar bola matanya jengah, tatapannya telah kembali berani menantang Jimin. "Setidaknya gunakan aku lebih dulu dan berikan aku uang untuk membayar ongkos taksi," katanya.

[M] Locked InTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang