FIRST LOVE

4 1 0
                                    

Mentari telah meninggalkan peraduannya memberikan kesempatan bagi sang rembulan untuk menampakkan keindahannya. Malam semakin larut tapi aku masih betah untuk berlama-lama tinggal disini. Tempat terindah sekaligus menyakitkan, tempat yang selalu mengingatkan ku akan dirinya. Tentang senyumnya yang selalu menghiasi wajahnya.
Ku jelajahi setiap jengkal ruangan hingga pandangan mata ku jatuhkan pada sebuah piano. Ku langkahkan kaki menuju piano tersebut, duduk dan memperhatikan tuts yang sedikit berdebu. Ku mainkan jari-jari di atas tuts melantunkan sebuah lagu, aku melihat dirimu tersenyum di samping ku ikut memainkan sebuah melodi First Love lagu yang aku ciptakan khusus untukmu . Di tengah permainan sebuah ingatan menghampiri pikiran ku membawa pada sebuah kenangan menyakitkan yang tak bisa ku lupakan.
Fajar telah terbit dan siang akan segera menyambut. Ku langkahkan kaki menuju sebuah gerbang sekolah menengah atas, aku melihat seorang gadis yang sedang berdiri di samping gerbang sembari memandang jam tangan. Aku pun melakukan hal yang sama ternyata ini sudah jam tujuh pagi dan bel akan segera berbunyi. Aku ingin sedikit mengerjainya, aku melangkah dengan pelan. Saat aku didekatnya aku mendengar dia sedang menggerutu tak jelas mungkin ia lelah menunggu ku, aku tersenyum.  Membayangkan ekspresi wajahnya saat sedang marah membuat ku tak mampu menahan tawa.
“Lama banget sih, pegel nih kaki nungguin kamu. Lagian abis ngapain aja sih ?”
“Iya, maaf besok aku ga ulangin lagi deh”. Aku menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf v
“Bilangnya gitu, tapi besok juga bakal di ulangin lagi”. Dia melangkah masuk ke dalam sambil menggerutu.
Aku setengah berlari dan mengejarnya “Iya, beneran deh maaf. Jangan marah Mulu dong, nanti cepet tua loh”.
Dia berhenti di samping ku dan menatap dengan tangan bersedekap “Orang mah kalo salah yesel gitu, terus jadi baik-baikin. Bukannya malah gini. Terus kalo aku cepet tua kamu bakal pergi gitu ?”
“Engga dong, ga bakal aku kaya gitu. Biarpun nanti kamu udah keriputan duluan aku tetep sama kamu bahkan sampai rambut kamu udah ga hitam lagi. Itu janji aku”.
“Ga mempan aku sama kata-kata gombal kamu”.
“Ini bukan kata-kata gombal aku serius. Lagian juga kalo ga mempan tuh pipi kenapa merah gitu”. Aku tersenyum dan menusuk-nusukk pipinya dengan jari.
“Udah ah, masuk yuh”.
“Cie, salting. Tungguin dong”. Aku berlari menyusul  dan ku genggam tangannya. Aku selalu merasa nyaman dengan kehangatan ini. Dan kami masuk ke dalam kelas dengan senyum menghiasi wajah ku melihat dia yang seolah tidak perduli, padahal ia sedang menahan senyuman.
Aku berdiri di depan sebuah teater dengan api besar yang berkobar siap melahap apa saja yang ada didekatnya. Aku merasakan tangan ku ditahan oleh seseorang membuat langkah ku terhenti.
“Lepaskan ! Aku harus masuk ke dalam”.
“Tidak bisa nak, api sudah menyebar ke mana-mana”.
“Aku tidak perduli. Aku harus masuk dan menyelamatkan seseorang. Aku tidak perduli bahkan jika aku harus terbakar”.
“Pak, api menyebar begitu cepat menghanguskan seluruh bangunan, kami berhasil menyelamatkan orang-orang tapi ada beberapa pengunjung yang terjebak dan tidak bisa kami keluarkan”. Seorang laki-laki mendekati kami dan melapor, sepertinya orang yang menahan ku adalah atasannya.
“Kau dengar nak, sudah tidak ada yang bisa diselamatkan lagi. Kita hanya bisa berdo'a”.
Kaki ku lemas tak mampu lagi menahan tubuh ku untuk tetap berdiri aku jatuh terduduk di atas tanah dan menangis, aku menepuk dada tak kuat menahan sesak. Aku langsung teringat mungkin dia sempat dievakuasi. Aku segera menghapus air mata dan berdiri menuju tempat para korban. Tak ku hiraukan suara orang yang memanggil ku dan terus berlari.
Sampai di posko aku langsung mencari kesana kemari seperti orang kesetanan, rasa lelah yang menyerang seolah tak terasa, entah hilang kemana.  Sekian lama aku mencari aku tak menemukannya juga. Pikiran buruk tiba-tiba menghampiri membuat ku putus asa.
“Tidak, aku tidak boleh menyerah, mungkin saja dia sudah dibawa ke rumah sakit. Benar, mungkin saja dia sudah dibawa pergi”. Aku bermonolog menguatkan diri dengan hal yang aku sendiri pun meragukannya.
Aku berjalan lagi menuju papan daftar korban selamat. Ku susuri semua nama dari atas sampai ke bawah. “Tidak ada, disini juga tidak ada”. Aku kembali membaca dari atas tapi tetap saja tak ku temukan namanya.
Aku jatuh terduduk dengan air mata mengalir deras, aku memukul-mukul kan tangan ke dada berharap sesak ini akan pergi dan berharap bahwa semua ini hanyalah sebuah mimpi belaka. Tapi itu adalah suatu hal yang percuma karena ini bukan  mimpi. Sakit tiba-tiba menyerang dada ku membuat pandangan ku mengabur, kegelapan menyapa dan tak ku rasakan apa-apa lagi selain kegelapan.
Aku merasakan sebuah kegelapan kembali menghampiri membuat dada ku sesak sampai ku rasakan udara meninggalkan ku. Tak terasa air mata sudah mengalir dari pelupuk mata membasahi pipiku. Aku teringat sebuah janji yang tak akan pernah bisa aku tepati, janji untuk selalu hidup bersama bahkan sampai maut menjemput.
Ku rasakan sebuah tangan menepuk pundak ku aku segera menghapus air mata dan melihat ke arah datangnya suara. “Sudahlah, dia sudah pergi. Dia akan sangat sedih dan kecewa melihat mu terus seperti ini, hal itu sudah berlalu”.
“Kau tahu, hal itu seperti tidak mungkin. Rasanya sesak ini tidak pernah hilang”.
“Kaulah yang memang tidak mau menghilangkannya”.
“Setiap kali aku mencoba melupakannya, senyum dan tawanya selalu membayangi ku. Dan keadaannya saat itu membuat ku begitu menyesal, seandainya aku tidak meninggalkan dia di dalam, seandainya aku menuruti kata-katanya untuk tidak pergi malam itu, dan seandainya”. Aku tak mampu berkata-kata lagi air mata kembali mengalir deras membasahi pipi.
“Sudahlah, aku percaya dia tidak pernah menyalahkan mu. Semua sudah berlalu ini adalah bagian dari jalinan takdir dan perjalanan hidup. Semua pasti ada hikmahnya. Jadi, sekarang ayo kita pulang”.
“Kau benar, ayo kita pulang”. Aku segera menghapus air mata ku dan berdiri.
Tangan ku menyentuh daun pintu dan hendak membukanya. “Oh iya, ngomong-ngomong kau copas dimana kata-kata bijak tadi ?”
“Oh itu, tadi aku sempat menonton film dan ada kata-kata seperti itu ya sudah karena waktunya juga pas, aku copas deh”.
“Percaya aku”.
Aku dan Reza berjalan keluar, dari depan pintu keluar aku melihat teman-teman yang melambaikan tangan dan memanggil nama ku. Aku tersenyum dan membalas lambaian tangan mereka.
“Lama banget sih, untung aja kita baik, jadi ga ninggalin kalian”.
“Kok kalian sih, harusnya kan cuma Dimas orang dia lama banget merenungnya”.
“Iyalah kalian, kamu juga nyamperin lama banget”.
Aku tersenyum mendengar celotehan teman-teman ku. Aku bersyukur karena masih ada mereka yang selalu mendukung dan mengingatkan ku saat aku salah, dan akan selalu mengulurkan tangan saat aku  terjatuh. Benar, semua hal yang dialami pahit ataupun manis pasti membawa sebuah rahasia dan kejutan yang menanti di depan sana.
Aku memandang langit dengan rembulan yang menghiasi malam tanpa bintang, aku melihat wajahnya disana sedang tersenyum memandang ku. Hari ini adalah awal yang baru, awal aku belajar melupakannya biarlah dia menjadi kenangan manis dan akan selalu hidup dalam hati dan pikiran ku. Tentang dia cinta pertama ku, kekasih ku dan penyemangat hidup ku.
Aku mencintaimu, Dinda.
~TAMAT~

Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang