SAVE ME Part 2

0 0 0
                                    

Aku langsung menjatuhkan telfon dari tangan ku. Aku begitu jijik melihat noda darah yang berada di tangan ku, segera saja aku masuk ke dalam bathtub dan menyalakan shower untuk menghilangkan noda darah ini.
Saat kegelapan akan menjemput, aku merasakan ada yang mendobrak pintu kamar mandi dan suara seseorang memanggil nama ku.
“Kevin, sadar”.
Ku rasakan seseorang mematikan shower dan saat aku melihat ke arahnya aku sadar dia adalah kak Stev.
“Maafkan aku. Aku tadi tak sengaja. Aku”
“Hentikan racauan mu. Sekarang jelaskan pada ku apa yang terjadi, tapi sebelum itu ganti baju mu. Ini” kak Stev memberikan ku pakaian yang dibawanya. Aku keluar dari kamar mandi, dan mulai menceritakan apa yang terjadi.
Sekarang, disinilah kami berada di ruang tamu tanpa ada perubahan, begitu pun dengan Yuri yang masih duduk di lantai. Ku langkahkan kaki dengan berbagai rasa yang berkecamuk, aku dapat melihat alangkah terkejutnya kak Stev melihat apa yang telah ku perbuat. Dia pasti tidak menyangka adiknya mampu melakukan hal ini.
Aku melangkah mendekati Yuri  yang masih berada di sudut ruangan, dengan ekspresi wajah yang tak bisa ku tebak. “Apa kau baik-baik saja ?”.
“Sebentar lagi polisi pasti datang”.
“Apa maksud mu ? Apa kau melaporkan Kevin kepada mereka ?”
“Tidak, aku tidak punya niatan untuk melakukan hal itu. Aku justru berterima kasih karena Kevin telah membunuhnya, yang mana itu adalah hal yang tak bisa aku lakukan”.
“Kau gila”.
“Kau tidak tahu bagaimana rasanya setiap hari harus terjebak dalam ketakutan, rasanya seperti neraka. Dan seperti biasa setelah dia marah-marah dan memukul ku akan ada tetangga yang memanggil polisi. Mereka hanya akan mengatakan bersabar, tanpa ada tindakan yang nyata”.
Aku terdiam mendengar perkataan mereka, tepatnya tertegun dengan apa yang Yuri katakan. Aku sungguh tidak menyangka kalau dia bisa mengatakan hal seperti itu. Aku mulai mendengar suara orang berbicara dan suara sirene polisi. Tiba-tiba rasa panik kembali menghantui ku.
“Bagaimana ini kak ? Apa yang harus aku lakukan ?”
“Seperti yang tadi aku katakan, polisi akan segera datang”.
Aku melihat ke arah Yuri, dan tak menyangka dia bisa sesantai itu. “Yuri, bagaimana kau”. Sebelum aku menyelesaikan perkataan ku, aku terkejut apa yang dilakukan oleh ka Stev, dia berjongkok dan menyentuh tongkat bisbol dan melumuri baju yang ia kenakan dengan darah yang berada di tongkat dan lantai.
“Apa yang kau lakukan kak ?”. Aku berteriak tak percaya dengan apa yang dilakukan  oleh kak Stev, dan mencoba meraih tangannya.
“Hentikan. Sekarang turuti apa yang aku katakan. Saat polisi datang katakan pada mereka bahwa kau adalah saksi dari kasus pembunuhan yang dilakukan oleh ku, dan juga”.
“Apa kau bodoh, aku tidak menginginkan hal seperti ini”. Aku langsung memotong ucapan kak Stev, sungguh bukan ini yang aku inginkan. “Biarkan aku yang bertanggung jawab. Ini semua salah ku”.
“Lalu setelah itu apa ? Kau akan berada di penjara begitu ? Kau menyuruh ku melihat mu menderita, begitu mau mu ?”.
“Setelah itu, aku akan, aku akan”. Sebelum aku menyelesaikan perkataan ku kak Stev memotong pembicaraan ku.
“Ingat Kevin, masa depan mu masih panjang. Bukankah kau memiliki mimpi untuk menjadi seorang dokter spesialis dan membangun sebuah rumah sakit, membahagiakan orang tua kita dan dapat dibanggakan oleh kakak mu ini. Jadi sekarang turuti perkataan kakak mu ini untuk yang terakhir kalinya”.
Air mata ku kembali menetes “Aku tidak bisa melakukan hal itu. Aku” belum sempat aku menyelesaikan perkataan ku tiba-tiba pintu di buka dan masuk beberapa anggota polisi.
“Angkat tangan”. Seorang polisi masuk dan langsung mengarahkan pistol ke arah kami. Kemudian masuk beberapa anggota polisi yang lain dan begitu melihat kak Stev mereka langsung pergi membawanya.
“Hentikan” Belum sempat aku menyelesaikan perkataan ku, Yuri sudah berkata terlebih dahulu.y
“Dia pelakunya. Dia telah membunuh ayah ku. Tolong bawa dia”.
Aku melihat ke arah belakang, tak menyangka Yuri akan begitu mudahnya mengatakan hal seperti itu. Mendengar hal itu polisi segera membawa kak Stev pergi.
“Tidak, tidak, hentikan. Kak Stev”. Aku jatuh terduduk dengan air mata mengalir deras membasahi wajah ku. Tak ku hiraukan pandangan orang-orang melihat ke arah ku. Bukan, bukan hal seperti ini yang aku inginkan, jika saja aku tahu maka aku tidak akan pernah menghubunginya. Sesak menyerang ku, ku memukul-mukul dada untuk setidaknya mengurangi sakit ini.
Setelah beberapa waktu, orang-orang telah meninggalkan tempat kejadian dan sekarang aku dan Yuri berada di sebuah taman di pinggir apartemen.
“Kenapa kau mengatakan hal seperti itu ?”.
“Karena itu adalah jalan keluar terbaik”.
“Jalan terbaik ? Dengan mengorbankan kak Stev begitu ?”. Tanpa bisa menahan rasa bersalah dan emosi aku meninggikan suara, dan menatap Yuri dengan pandangan terluka.
“Lalu apa mau mu ? Apa kau akan mengatakan bahwa ini semua salah mu, begitu ? Kau, menyalahkan orang lain karena sifat pengecut mu. Seandainya kau berani setelah ku berkata seperti tadi, kau akan langsung menghentikan para polisi itu”.
Seakan di tampar oleh tangan yang tak kasat mata aku berdiri mematung, benar apa yang Yuri katakan. Aku adalah seorang pengecut, yang hanya bisa berlindung di bawah bayangan. Aku melihat Yuri berjalan menjauh dan tanpa aku cegah kepergiannya. Lelah dengan semua keadaan, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Ketika aku membuka pintu dan berdiri di ruang tamu, aku dengan jelas melihat bayangan kak Stev yang sedang duduk bermain game. Tak ingin berlarut dalam kesedihan aku langsung menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamar.
Tak tak tak, aku berlari di sepanjang jalan raya untuk menghindari sesuatu yang entah aku pun tak tahu apa itu. Sampai aku tiba di sebuah ruangan yang kosong dan hanya ada kegelapan. Ku edarkan seluruh pandangan ke seluruh ruangan, namun aku tetap tak menemukan apapun. Ketika aku melihat ke belakang aku melihat sebuah lubang hitam yang berusaha menarik ku ke dalamnya. Dengan sekuat tenaga aku berusaha menahan diri agar tidak terjatuh, saat aku merasakan di ujung keputusasaan aku melihat seseorang mengulurkan tangannya, tanpa pikir panjang aku meraih tangan tersebut. Setelah aku berhasil bangkit ternyata, tangan yang tadi aku raih adalah tangan kanan Stev. Merasa kehilangan aku melihat ke seluruh ruangan sambil berteriak, tapi anehnya suara ku tak keluar sedikit pun. Lalu aku melihat ke belakang dan alangkah terkejutnya aku ketika melihat kak Stev berada di dalam lubang hitam tadi, aku berusaha meraihnya tapi lubang itu malah menghilang.
“Tidak” Aku terbangun dari mimpi buruk ku, aku mengusap wajah ku yang basah karena keringat yang bercampur dengan air mata. Masih terbayang jelas kejadian kemarin saat aku melakukan kesalahan, ah rasanya itu tak pantas disebut sebagai kesalahan karena yang ada itu adalah sebuah dosa. Sebuah dosa yang mengantarkan kak Stev ke dalam dinginnya dinding sel penjara.
Akhirnya hari ini tiba, hari yang mana tidak pernah aku harapkan untuk ada. Hari dimana aku akan memasukkan kakak ku sendiri ke dalam penjara. Dan disinilah aku duduk termenung di pojok belakang dengan Yuri di depan ku. Aku sungguh tidak kuat melihat wajah kak Stev yang akan memasuki ruang persidangan.
“Dengan ini, menurut undang-undang KUHP No................ menyatakan bahwa saudara Steve Adi Putra Pangestu bersalah atas kejahatan pembunuhan berencana dan didakwa dengan pasal......... KUHP dengan kurungan penjara selama  sepuluh tahun dan dikurangi masa penahanan selama dua bulan menjadi sembilan tahun sepuluh bulan terhitung pada hari ini, Selasa 17 September 2018”. Air mata ku mengalir deras mendengar sang hakim mengetuk palu tanda bahwa pernyataan tidak dapat diganggu gugat. Aku segera bangkit dan berlari melihat kak Steve dibawa ke luar ruangan.
“Kak Stev, kak”. Aku berusaha mengejarnya sambil meneriakkan namanya berulang-ulang, namun apalah daya aku hanya bisa melihat kak Steve tanpa bisa mengucapkan selamat tinggal atau pun pelukan terakhir karena para polisi yang melarang ku untuk setidaknya bertemu.
“Ya, berhenti tersenyum bodoh”. Akuk perduli dengan pandangan orang-orang di sekeliling ku melihat aku menangis dan berteriak. Dan melihat kak Steve yang dibawa dengan tersenyum membuat ku semakin sakit. Rasanya aku ingin berteriak kepada dunia bahwa ini tidak adil, ini bukan salah kak Steve tapi salah ku. Tapi sekali lagi rasa  dan sifat pengecut ku membuat ku lari dari kenyataan, dan hanya bisa diam berdiri menangisi keadaan tanpa berusaha untuk bangkit.
Tiba-tiba sebuah ingatan kembali menyeruak memaksa masuk ke dalam pikiran, ingatan yang tak akan pernah bisa aku hapus dan sebuah penyesalan yang membuat ku bangkit. Aku melihat ke sekeliling dan mata ku terpaku pada tulisan Penjara Nusa Kambangan, mata ku mulai berkaca-kaca. Ku rasakan tetesan air hujan mulai membasahi bumi, aku segera berlari masuk ke dalam. Barangkali aku memang sedang tidak diizinkan untuk menangis. Dan sekarang, disinilah aku di koridor sebuah penjara yang dingin. Langkah kaki terasa begitu berat saat aku mulai memasuki ruang polisi.
“Permisi, ada yang bisa saya bantu ?” Seorang sipir penjara mendekati ku dan langsung bertanya pada ku.
“Aku ingin bertemu dengan seorang laki-laki bernama Steve Adi Putra Pangestu”.
“Oh, tahanan yang ditangkap tiga tahun lalu itu. Baiklah Anda bisa menunggu disebelah sana”. Begitu sakit hati ku mendengar sang sipir memanggil kak Steve dengan sebutan tahanan. Tak ingin berlama-lama aku langsung menuju tempat duduk disebelah kanan menunggu kedatangan kak Steve.
Ku perhatikan setiap sudut ruangan, dan pikiran ku mulai membawa kesadaran ku menghilang dari raga dan berhenti saat ku dengar seseorang berdehem.
“Apa kau kesini hanya untuk melamun seperti itu”.
Ku perhatikan kak Steve yang terlihat sedikit kurus dan pucat dan terakhir aku kemari. Tak kunjung mendapat jawaban dari ku, kak Steve melanjutkan perkataannya.
“Apa kau kesini hanya untuk duduk. Apa kau tidak ingin menyapa kakak mu ini ?”
Aku berdehem untuk mengurangi rasa tak nyaman melihat keadaannya. “Bagaimana kabar mu ? Maafkan aku baru bisa menengok mu sekarang”.
“Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Ku kira kau sudah melupakan ku”.
“Tidak, bukan begitu maksud ku”.
“Kenapa kau begitu tegang”
“Jangan tersenyum seperti itu, aku benci melihatnya”.
“Baiklah. Bagaimana kabar mu dengan Yuri ? Apa kalian baik-baik saja”.
Begitu mendengar nama Yuri, waktu serasa diputar ke belakang, membuat ingatan yang ingin aku lupakan kembali hadir. Setelah kejadian itu, aku terpuruk dan mulai mengurangi aktivitas sosial membuat ku memiliki jarak dengan Yuri. Apalagi setelah aku memutuskan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi dengan mengambil prodi seorang pengacara, tentu saja itu semua untuk kak Steve, setidaknya inilah yang bisa aku lakukan untuknya. Aku tidak pernah berpikir akan berpisah dengan Yuri, perempuan yang aku cintai melebihi diri ku, yang aku pikir tidak akan bisa hidup tanpanya.
“Kami sudah tidak pernah bertemu lagi sejak kejadian itu. Terakhir kali aku melihatnya dia sedang berkencan dengan seorang laki-laki yang ternyata adalah kakak tingkat ku”.
“Wah, ternyata adik ku ini sedang patah hati ya. Ngomong-ngomong bagaimana dengan kuliah mu. Apa kau bisa menjalaninya dengan baik ?”.
Kak Steve belumlah tahu, bahwa aku mengambil prodi pengacara, karena dia pasti akan bersedih. “Semuanya berjalan dengan baik, kabar ayah dan ibu juga baik”.
“Kalau begitu syukurlah”.
“Ada sesuatu yang belum sempat aku beritahu padamu”. Aku ragu-ragu untuk mengatakannya.
“Ada apa ? Katakan saja !”
“Aku memutuskan untuk menjadi seorang pengacara dan”.
“Membuang impian mu menjadi seorang dokter karena aku ?”
“Bukan begitu, hanya saja”.
“Sudahlah, aku tidak marah. Aku hanya kecewa pada diri ku karena membuat mu membuang impian mu hanya untuk aku”.
“Jangan berkata seperti itu, bagi ku kau adalah segalanya. Aku akan menukar apa pun yang aku punya untuk dapat mengeluarkan kakak dari sini. Jadi, tunggulah sebentar lagi”.
Masih banyak yang ingin aku ceritakan, namun sang sipir telah datang dan mengatakan waktu kunjungan sudah habis dan mengharuskan kak Steve kembali. “Aku pasti akan segera membebaskan mu, jadi tunggulah sebentar lagi”.
Dua tahun kemudian
“Kak Steve”. Aku berteriak dan melambaikan tangan ke arah kak Steve yang sudah resmi bebas dari jam yang lalu, dengan ditemani oleh ibu dan ayah.
“Ayo kita berfoto dulu”.
“Baiklah”.
Aku mengambil kamera untuk berfoto bersama dengan keluarga ku dengan senyum lebar.
Saat dunia berusaha menjatuhkan mu, kau dapat memilih untuk tetap terpuruk atau berusaha bangkit dan meraih mimpi.
~TAMAT~

Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang