Umar berlari tanpa mengenakan alas kaki. Dia berlari sekuat tenaga, kakinya yang lincah bergeser ke kanan dan ke kiri menembus jalan yang licin dikarenakan hujan tadi pagi.
Tidak hati-hati akhirnya Umar tersungkur ke tanah. Wajahnya belepotan oleh lumpur karena mencium jalan. Ekspresinya sulit dijelaskan.
Teman-temannya menertawakan Umar. Ada juga yang memarahi,
"Kau selalu saja tidak hati-hati, lihat sekarang tim kita kalah!" tukas temannya. Sepertinya dia kapten tim, karna badannya lah yang paling besar di antara yang lain. Namanya Zulkifli, biasa di panggil Izul.
"Maaf.. Lain kali saya akan lebih cepat lagi." jawab Umar menunduk, sesekali melirik teman-temannya yang geram.
"Kau jangan cuma ngomong, buktikan!"
Permainan kembali dilanjutkan.
Kali ini tim Umar memegang kendali bola, Izul mengiring bola menuju daerah lawan, sepasang sendal jepang menjadi penanda gawang.
dia tampak kewalahan karna badannya.
Akhirnya dia mengoper ke Wardi, Wardi melewati dua pemain lawan sekaligus, Umar mengangkat tangan setelah Wardi berhasil mendekat ke gawang, menginstruksikan agar mengoper bola kepadanya.
Wardi langsung menendang bola. Bola melambung tinggi, Umar sudah siap siap menerima bola. Namun baru akan meloncat Umar terjatuh lagi dan membuat Izul semakin geram.
Bola berhasil direbut oleh lawan, dan kembali mencetak gol.
Izul menempelkan tangannya ke dahi sembari geleng - geleng.
"Umar kau diganti saja dengan Mukhlis, Mukhlis kau gantikan posisi Umar" katanya menunjuk Mukhlis masuk ke dalam lapangan.
"Kau saja yang diganti. Badanmu itu sudah kayak bola." cetus Umar. Mereka menertawakan Izul. Umar keluar dari lapangan sambil memegang kakinya yang kesakitan.
Di antara teman teman Umar, dia lah yang paling kecil. Makanya dia sering dijadikan pelampiasan kekesalan saat bermain bola. Apalgi si Izul, sering kali memanfaatkan badannya yang seperti bola itu.
Meskipun begitu, Umar tetap tidak takut, sebab saat bermain bola baginya semua sama saja. Tapi tenang saja, semua itu terjadi sebatas permainan bola saja. Setelah itu, mereka kembali menjadi teman yang solid.
Di pinggir lapangan, Umar tampak cemas melihat bola berada di pihak lawan. Tetapi untunglah Mukhlis berhasil merebut dan seketika membawa bola ke gawang lawan.
Namun belum beberapa menit Mukhlis mengiring bola.
Azan maghrib berkumandang, tanda permainan sudah berakhir. Tim Umar harus menelan kekalahan. 3-0 tanpa balas. Mukhlis gagal mencetak gol. Izul si badan bola tampak kecewa.
Permainan bubar.
Umar mencuci kaki di samping tangga yang sudah tersedia di setiap rumah di kampung ini. Kampung Umar termasuk kampung yang masih asri secara alam maupun adatnya.
Kampung ini terletak di sebuah kabupaten di Sumatera Barat. Rumah di kampung ini pun masih sederhana, yaitu berbentuk Rumah Gadang. Rumah Gadang yang itu loh, yang atapnya bergonjong.
Alamnya pun masih sangat bersih dari yang namanya kerusakan, seperti yang terjadi di kota kota besar.
Dari rumah Umar, terlihat lereng gunung yang dibawahnya mengalir sungai sungai. Banyak pepohonan hijau yang menjulang tinggi. Begitupun dengan sawahnya. Sudah sangat jelas, bahwa aktivitas utama penduduk kampung ini adalah bertani.
Tidak hanya bersawah, ada juga yang beternak, mengembala, berdagang dan sebagainya.
Seperti halnya bapak Umar bekerja di sawah orang sebagai petani. Ibunya sesekali membantu suaminya itu ke sawah. Pendapatannya tidak seberapa, jadilah Kasmin --Ayah Umar-- harus bekerja banting tulang.