"Lorna, kau yakin tinggal di rumah flat itu?"
"Lantas, mau bagaimana lagi?"balasnya sembari menyesap pinggir gelas berisi hot coffelatte. Mata hazelnya yang indah bergerak pelan, menyusuri ruangan café yang tidak terlalu ramai, Ia mengeluh pelan, malas memikirkan semua hal. "Bagaimana kalau kau tinggal di mansion ku?"tawar Olivia- sahabatnya tersebut mendadak.
Lorna tersenyum, memutar bola matanya asal. "Itu tidak mungkin, sejak kecil aku tidak pernah bersahabat dengan Alexander, dia akan mengusirku saat melihat wajahku di pekarangannya!"
"Ayolah, aku tidak bisa membiarkan sahabatku tidur di tempat kumuh itu, aku akan mengatasi kakaku yang satu itu, dia akan setuju!"rayu Olivia sembari memasang wajah penuh harapan.
Lorna diam sejenak, memikirkan banyak hal yang tengah ia rasakan, belum lagi masalahnya bersama Eric, kekasih sialannya yang mulai sibuk sejak beberapa bulan ini. Ah- ia mulai bosan dengan semua hal tersebut, maklum, Eric Stanley Hugo adalah penulis buku politik best seller, pria itu dekat dengan pemerintah, cukup riskan.
"Lorna!!"sentak Olivia dari lamunannya.
"Ah- sorry, sedang memikirkan banyak hal, akan ku pikirkan nanti untuk masalah mansion mu, tapi, aku pikir itu ide buruk!"celetuk Lorna sembari mengulum bibir merahnya. Olivia menggeleng, menarik jemari gadis itu dan meremasnya kuat, " aku hebat dalam ber-acting, kau tenang saja, Alexander akan menerimamu di mansion. Lagipula, kita sudah bersahabat sejak umur empat tahun, keluarga Morgan dan Dulce sudah bersahabat nyaris 23 tahun," terang Olivia membuat Lorna diam. Ia tidak ingin mengambil keputusan buru-buru.
"Beri aku waktu satu hari untuk berpikir, Eric akan menemui ku malam ini,"ucap Lorna melirik arloji nya, nyaris pukul sembilan malam.
"Argh! Ayolah, kenapa kau harus menemui pria brengsek itu, Lorna. Aku pikir kau sudah putus, sungguh, dia kekasih yang benar-benar buruk, sikapnya terlalu baik dengan semua gadis, bastard!"cela Olivia malas.
"Ayolah, kau juga tahu, bahwa perasaanku sama sekali tidak utuh untuknya! Hanya iseng, sekadar status sialan agar aku tidak terlihat menyedihkan!"
"Kau Lorna Chameron Dulce, anak ilmuan terkenal dari Ferdinand dulce, untuk mendapatkan seorang pria, itu mudah. Kau bisa dapatkan yang lebih dari Erick,"tandas Olivia menyesap minumannya hingga tandas. Lorna hanya terkekeh, memijat keningnya yang terasa sakit. Sepertinya, ia benar-benar membutuhkan obat sekarang.
"Aku harus pulang, flat ku berantakan!"erang Lorna kasar, membuat wajah Olivia berubah. Ia masih ingin bersenang-senang. Tapi, baiklah, kali ini ia akan membebaskan sahabatnya itu dan segera meluncur ke mansion, mencari Alexander untuk membujuknya menerima Lorna.
"Ingat kataku, kau harus segera pindah ke mansion jika Alexander setuju, kau paham?"tukas Olivia menatap tajam Lorna yang hanya menjawab dengan menaikkan alisnya. Ia tidak ingin berjanji, jujur, gadis itu memiliki masalah dengan hatinya terhadap Alexander, Ia dian-diam mencintai pria arogan tersebut, hal tersebut terjadi begitu saja, namun, nyatanya ia memiliki banyak perubahan sejak kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan mobil enam tahun silam. Kemungkinan besar,kecelakaan tersebut di manipulasi.
"Bye!"Lorna meraih key supercars Lambhorghini aventador, 'satu-satunya' harta yang ia bawa keluar dari mansion keluarga Dulce. Ia tersenyum tipis, membiarkan Olivia yang membayar Bill nya dan mereka berpisah begitu saja.
Lorna mengeluh kasar, ya Tuhan, ia memiliki nasib sial sejak kehilangan mommy nya satu tahun lalu. Setelah sakit parah, melawan kanker ganas akhirnya Rose Chamerone Dulce meninggal dunia dan, belum genap setahun kepergian Rose, Ferdinand memilih menikahi wanita sialan yang membuat Lorna harus memisahkan diri, Ferdinand seakan tidak menganggapnya sama sekali. Ia di kucilkan, di singkirkan sejak kehadiran Sandra dan anaknya Jace yang berumur hampir sama seperti Alexander, 25 tahun. Ia menjadi salah satu agen CIA. Meskipun prestasi nya tidak terlalu baik, Ferdinand kerap membandingkan mereka. Jace merupakan senior Lorna saat mereka masih kuliah di Cambridge, pria itu memang sering menggodanya. Menyebalkan.