Prolog

224 40 2
                                    

KETUKAN sepatu memecah keheningan di koridor sekolah. Seorang gadis bersurai pendek dengan seragam yang melekat pada tubuhnya, sedang berjalan sambil menunduk. Menghindari tatapan menggelikan dari teman-temannya yang kini menatapnya tajam.

Sorakan kencang yang terdengar melalui alat bantu dengarnya hanya mengikis senyuman Naehwa, gadis tuli itu. Telinganya benar-benar mendengar ejekan teman-temannya.

"Hei tuli, kau dengar aku tidak?"

"Bagaimana cara berkomunkasi dengannya? Mendengar saja tak bisa, apalagi berbicara."

"Demi Tuhan, aku benci mendengar suara jeleknya saat dia sedang berbicara."

Naehwa lantas menghentikan langkahnya. Mata sayunya hanya bisa menatap teman-temannya, berharap ini akan berakhir. Namun siapa sangka tatapan matanya tak berfungsi sama sekali sehingga Naehwa hanya menunduk dan melanjutkan langkahnya.

"Ew, Naehwa terlihat seperti sampah!"

"Kau pernah tidak mendengar suaranya? Seperti seekor tikus terjepit pintu, hahaha!"

Mendengar ejekan itu semua, Naehwa menambah kecepatannya. Muak. Ini sudah keterlaluan baginya. Naehwa tak bisa direndahkan seperti ini.

Sukses melewati koridor sekolah yang dipenuhi dengan The Queen and King of Bullying itu, Naehwa berlari kecil menuju kamar kecil. Buru-buru masuk ke dalam kamar kecil dan langsung bertengger di depan cermin besar, memerhatikan pantulan dirinya di sana.

Jemarinya mengusap peluh yang turun melewati kening, lalu menghembuskan napas pelan-pelan. Kepalanya kembali dilanda rasa pening, seharusnya Naehwa tak terlalu memikirkan itu semua.

Namun baginya, lebih baik tak bisa mendengar apapun daripada harus menerima ejekan secara terang-terangan. It's a part of suicide, menurutnya.

Tangan kanannya merogoh ranselnya, mengambil kapsul yang ada di dalam sebuah tabung obat. Memgambil sebuah kapsul dan menelannya tanpa bantuan air. Ini masih pagi, dan penyakitnya selalu muncul di pagi hari.

"Naehwa? Lagi apa?"

Naehwa terkejut bukan main, dengan sigap ia menaruh kembali tabung kapsul itu ke dalam tasnya dan tersenyum melalui cermin. Kepalanya menggeleng ditambah senyuman yang terlihat sangat dipaksakan.

Gadis yang Naehwa kenal semakin berjalan mendekatinya, menatap Naehwa dengan bingung sekaligus menginterogasi. Dengan kedua tangan yang dilipat, gadis itu kembali bertanya. "Kau makan apa? Aku melihatmu tadi."

Naehwa kembali menggeleng. Ia menoleh dan menatap gadis itu dengan tatapan meyakinkan. Lalu kedua tangannya bergerak bebas di udara, memberitahukan sesuatu disertai suara yang tak terlalu jelas.

"Aku tidak makan apapun."

Gadis di sebelahnya menaikkan sebelah alisnya, sangat tak percaya dengan pernyataan Naehwa. Sama halnya seperti Naehwa, gadis itu menggerakkan kedua tangannya demi memberitahukan sesuatu.

"Kau bohong, lagi."

Naehwa mendengus, mengabaikan gadis itu dan kembali bercermin, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan dan ia juga mengoleskan liptint setipis mungkin. Hanya ini yang bisa ia lakukan demi mengabaikan pertanyaan sahabatnya.

"Yoo Naehwa," sahabatnya memanggil Naehwa dengan geram, "ini sungguh tak lucu. Aku jelas-jelas melihat---"

"Ah, menjijikan! Kau serius berteman dengannya, Ji?"

Sahabatnya mendengus, memutar bola matanya lantas membalikkan tubuhnya. Saling adu tatap dengan seorang gadis berpakaian seksi; kemeja press dan rok mini, serta rambut yang diombre biru terang itu.

"Jiwoon, seleramu rendah juga," seru gadis tinggi yang ada di sebelah gadis berambut ombre. "Kami sarankan kau masuk geng kami, menjijikan sekali berteman dengan si tuli itu."

"Tutup mulutmu, Dasom!" seru Jiwoon seraya mendorong bahu gadis yang baru saja mengejek Naehwa. "Aku sama saja berteman dengan tikus mati jika aku masuk ke geng kalian. You bitch!" dengan cepat Jiwoon menarik tangan Naehwa untuk keluar dari kamar kecil yang sekarang sudah ditempati oleh iblis yang baru keluar dari neraka.

Selama ditarik paksa oleh Jiwoon, Naehwa hanya diam tak tahu harus melakukan apa. Sebenarnya, ia juga merasa malu akibat keterbatasannya. Bersahabat dengan gadis sempurna seperti Jiwoon hanya membuat dirinya semakin terpuruk dan membuat hancur reputasi Jiwoon di sekolah.

"Jiwoo...n," panggil Naehwa terbata, "Le...Lepa...skan..."

Jiwoon mendengus lalu dengan terpaksa ia melepas lengan Naehwa. Tatapan maut ia berikan ke gadis itu, "Dengar aku."

"Kau jangan bersedih, biarkan si jalang itu bertindak semaunya."

Naehwa sontak membulatkan mata, "Jangan kasar begitu. Kau kasar sekali."

"Ya ampun," Jiwoon mengusap wajahnya kasar. Kedua tangannya kembali bergerak, "itu tidak kasar. Mereka yang lebih kasar."

Naehwa menggeleng-geleng, lagi, ia menggerakkan kedua tangannya agar Jiwoon mengerti. "Biar saja, aku sudah biasa diejek seperti itu. Lebih baik kita kembali ke kelas."

Jiwoon terdiam sebentar, lalu pada akhirnya ia mengangguk. Merangkul pundak Naehwa seraya berkata, "Ayo."

Naehwa tersenyum tipis. Ia sungguh membenci dirinya sendiri karena berteman dengan Queenka sekolah, ia tidak mau merusak reputasi Jiwoon. Tapi Jiwoon terus saja menolaknya dan berkata bahwa ini akan baik-baik saja. Naehwa benci itu.

Dengan senyuman palsu yang terlukis, Naehwa kembali membatin, Jiwoon, terima kasih banyak sudah mau berteman denganku. Maaf jika aku membuatmu malu, lagi.

***

ATTENTION: Kalimat yang menggunakan italic dan bold, bermakna bahasa tubuh/isyarat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 18, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A Voice From Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang