Bab II: I Have You

46 2 1
                                    


Sampai di hari di mana aku menemukanmu, bagiku itu adalah suatu tanda bahwa semesta sedang mengaminkan doa orang-orang yang menyayangiku. Aku semakin percaya segalanya memang tercipta berpasangan dengan waktunya, termasuk kita.
Bersamamu, aku merasakan banyak bahagia setelah duka, aku menyadari akan selalu ada senyuman setelah tangisan. Aku beruntung, ada orang yang menyayangiku dalam segala keadaan, dan aku bahagia bahwa orang tersebut adalah kamu.

((POV;Alam))

Teruntuk ayah yang kuyakin sudah bahagia di atas sana.
Lusa ini, putri bajak lautmu akan genap berusia tujuh belas tahun, sweet seventeen, katanya. Seperti biasa, di hari ulang tahunku tiap tahunnya, hal ini selalu saja mengingatkanku pada ayah, namun tahun ini, kenangannya semakin kuat, membuat aku semakin rindu.

Aku masih ingat pada saat ulang tahunku ke enam, ketika ayah bertanya, 'Alam, mau hadiah apa untuk kali ini?' Kemudian, dengan lantang dan mantap aku menjawab, 'Alam ingin mendengar ayah bercerita tentang putri dan pangeran di buku yang Alam lihat kemarin di toko buku, yah. Alam ingin buku itu dan Alam ingin ayah yang menceritakannya, sambil ditemani ibu di samping Alam.' Ayah dan ibu tertawa pada waktu itu, aku masih mengingat bagaimana cara mereka tertawa, sangat hangat, membuat siapapun yang melihat dan mendengarnya turut berbahagia.
'Hanya itu?' Ibu bertanya lembut.
'Alam juga ingin boneka barbie yang kemarin Alam lihat di toko mainan, untuk bisa Alam peluk ketika Ayah bercerita tentang dongeng putri dan pangeran.'
Ibu dan ayah tersenyum, kemudian memelukku erat-erat sambil membisikkan sesuatu di telingaku, 'Selamat ulang tahun putri bajak laut kami, semoga putriku ini selalu bahagia di manapun ia berada.' Lihatlah, pada saat itu, keluarga kecil kami adalah keluarga paling bahagia yang ada di dunia!

Penuh rindu untuk ayah.
Alam.

"Dor! Lagi ngapain sih serius amat?"
Langit datang entah darimana. Aku segera menutup buku harian yang sudah rutin kutulis sejak aku masih sekolah dasar. Menyadari apa yang aku lakukan, dia bertanya, "Lagi nulis buku harian lagi?" Aku diam, tidak selera menjawab pertanyaan yang ia sudah tahu jawabannya apa, "Lagi badmood ya?" Aku masih diam, membuat Langit di sebelahku ini kemudian ikut diam juga, ia paham, percuma mengajakku bicara dalam kondisiku saat ini. Kami saling diam, hingga guru mata pelajaran hari ini memasuki kelas. Pelajaran dimulai.

***

Moodku yang tidak baik semenjak di sekolah membuatku hanya bisa diam di rumah ketika pulang sekolah, aku tidak berniat pergi ke rumah pohon tempatku dan Langit menghabiskan waktu untuk bermain. Aku berdiri, membuka laci meja, dan mencari album foto yang ditata rapi dalam tumpukan-tumpukan buku-buku yang ada di sana, ketemu! Ini album foto keluargaku.
Aku membuka lembar-lembar halaman album foto di tanganku, ada foto pernikahan ibu dan ayahku di sana, dengan balutan busana pernikahan berwarna putih senada, terpancar dari mata mereka kebahagiaan yang amat besar, hari itu pasti adalah hari paling bahagia bagi mereka berdua, ada fotoku masih bayi yang berada dalam gendongan ibu, ada fotoku bersama ayah dan ibu ketika liburan sekolah dalam mengunjungi beberapa tempat wisata di Jogjakarta, ada foto kami bersama keluarga yang lain, ada foto ulang tahunku, dan foto-foto lain yang semakin dibuka dari lembar satu ke lembar lainnya, membuatku sadar bahwa waktu tidak akan pernah sama, orang-orang yang ada di foto itu perlahan-lahan menghilang di tiap tahunnya, ayah, sosok yang selalu menemani dan mendukung kami, perlahan tidak tampak pada tahun ke sepuluh saat ulang tahunku, menyisakan aku dengan ibu yang sedang memegang kue yang diberi lilin usia sepuluh tahun di atasnya, di lembar selanjutnya, aku melihat fotoku bersama ibu, aku menghabiskan waktu dan tumbuh dewasa bersamanya, ia perempuan kuat yang menguatkan siapapun yang sedang berada di dekatnya. Aku tidak mau membayangkan bagaimana rasanya ditinggal oleh orang yang kita cinta, laki-laki yang berhasil membuatnya amat cinta sekaligus jatuh, namun ibu tidak pernah menangis di depanku, ibu terlalu pandai menyembunyikan air matanya. Pada saat ayah pertama kali meninggalkan kami, aku selalu bertanya pada ibu, pertanyaan anak usia sepuluh tahun yang masih tidak tahu akan takdir. "Ibu..ibu..kenapa ayah ditutupi oleh kain itu? Bu, kenapa ayah ditaruh di bawah sana? Bu, ayah hendak pergi ke mana? Alam kan, masih ingin mendengar dongeng kemarin yang belum ayah ceritakan." Ibu selalu tersenyum, sambil berkata, "Ayah sedang pergi ke rumah Tuhan, sayang. Suatu saat jika waktunya tiba, kita juga akan pergi ke sana." Setelah usiaku beranjak tiga belas tahun aku sadar, bahwa pertanyaan-pertanyaanku dulu pasti sangat menyakiti hati ibu, namun ibu tetap kuat dan selalu tersenyum. Aku turut belajar kuat darinya, tetapi aku masih sering menangis, aku tidak sekuat ibu, maaf bu, maaf yah. Sejak kepergian ayah, aku tidak percaya lagi dengan adanya akhir yang bahagia, aku tidak percaya lagi dongeng-dongeng masa kecil yang sering ayahku bacakan, '...dan kemudian mereka hidup bahagia selama-lamanya.' Itu semua bohong, ini dunia nyata, tidak akan pernah sama dengan hal-hal yang ada di dalam buku. Aku benci itu, aku benci sudah pernah percaya, aku benci dongeng-dongeng itu! Aku benci boneka-boneka yang pernah aku minta pada ayah, aku benci diriku!
Entah mengapa, tiba-tiba air mataku menetes, satu demi satu, kemudian mengalir deras. Aku perlu penjelasan mengapa semua ini terjadi, aku ingin penjelasan dari ayah, dan aku tidak mau bertanya pada ibu, tidak akan lagi setelah pertanyaan-pertanyaanku dulu, aku tidak mau membuat luka yang sudah ia tutup mulai terbuka lagi. Selamanya tidak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 16, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

K A M UTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang