"Bibi, Bian mau dibawa ke mana bi?" Bian dengan terseok-seok mengikuti langkah kaki bibinya yang lebar dan cepat. Wajah gadis berusia awal belasan itu meringis setiap kali tangannya terasa sakit akibat tarikan sang bibi.
"Sudah, diam saja kamu Bian, bibi mau membawamu ke dukun," bibi Bian berbicara dengan sedikit kesal.
"Dukun? Buat apa Bian ke dukun bi?"
"Bian, kemarin kamu mengeluh pahamu sakit, jadi jalan satu satunya yang bisa bibi lakukan adalah membawamu ke Dukun."
"Kenapa tidak ke Puskesmas saja bi?" Tanya Bian dengan bingung. Meski jarak Puskesmas cukup jauh dari desa yang ditinggali Bian dan bibinya saat ini, namun dengan berjalan kaki untuk ke Puskesmas Bian rasa masih cukup sanggup.
"Bibi tidak ada uang lebih untuk membawamu ke Puskesmas Bian, kamu diam saja. Lagi pula ke dukun lebih murah dan kamu akan segera sembuh."
Bian diam, menggigit bibirnya yang gatal ingin mengucapkan kata tapi dan tapi, namun Bian sadar melawan bibinya hanya akan membuat dirinya merasa lelah.
Jalanan tanah sedikit becek harus Bian lewati dengan langkah cepat sedikit berlari untuk mengimbangi langkah kaki bibinya. Kaki dan sandal murahan yang dipakainya sudah tidak terlihat bahwa sandal jepit itu baru saja dibelinya beberapa jam yang lalu sebelum bibinya mengatakan akan ke rumah dukun sakti.
Bian menatap rumah sederhana bercat putih dengan beberapa pilar.
"Nah itu rumahnya."
Mendengar perkataan bibinya, Bian menghela nafas, kakinya yang terasa lelah benar benar membutuhkan istirahat untuk tidak melangkah.
"Wow, antreannya lumayan," kata bibi Bian lagi. "Bian kamu mengantrelah, biar bibi mencoba negoisasi dengan teman bibi agar kamu dipercepat diobatinya."
Bian menuruti kata bibi, ia mengantre di belakang seorang kakek tua yang mungkin juga hendak berobat. Tangan gadis itu saling meremas, gugup dan takut bercampur menjadi satu.
"Bianna, nomor 20!" Sayup sayup Bian mendengar namanya disebut. Namun dirinya tidak yakin. Sampai pada akhirnya, bibi menghampiri dan menepuk bahu Bian sampai gadis itu menoleh.
"Masuklah!" Bibi memerintahkan Bian untuk masuk ke dalam rumah dukun itu. Kasak-kusuk Bian mendengar protesan dari 'pasien' lainnya.
Bian dengan takut memasuki rumah dukun tersebut, rumahnya tergolong sedikit gelap, mungkin karena awan mendung dan si tuan rumah tidak berniat menyalakan lampu.
"Permisi," kata Bian lirih saat memasuki suatu ruangan yang lebih terang dari ruangan yang dilewati sebelumnya.
"Masuklah!" Kata perempuan tua yang Bian pikir adalah sang dukun yang akan menyembuhkan sakit di pahanya.
Bian duduk, dengan takut takut dirinya hanya menundukan kepalanya.
"Kau keponakan Juleha?" Perempuan tua itu bertanya pada Bian. Gadis muda itu mengangkat kepalanya, diikuti anggukan.
"Iya, saya keponakan bibi Juleha." Kata Bian, sejujurnya ia tidak tahu apakah dirinya keponakan Bibi Juleha atau bukan, pasalnya Bibi Juleha adalah istri dari kakak angkat mamanya.
Bibi Juleha meminta Bian pada mamanya untuk 'memancing' supaya Bibi Juleha cepat memiliki momongan, sudah dua tahun ini Bian tinggal bersama sang bibi. Dan sekarang, bibinya tengah mengandung janin berusia 4 bulan.
Belum sempat Perempuan tua seumuran bibinya membuka suaranya lagi, seorang anak laki laki muncul dari ruangan lain.
"Ibu, pasien membeludak, jangan hanya mengobrol saja!" Kata anak laki laki itu. Namun sedetik setelah berkata demikian, mata anak laki laki itu melotot menatap Bian dengan mulut sedikit terbuka. Cepat-cepat, anak laki laki itu menghampiri ibunya, lalu berbisik pelan di telinga sang ibu.
