Home Sweet Home
.
.
.
Sesampainya di rumah, Mark benar-benar berharap jika suara ribut orangtuanya tidak lagi terdengar. Sebab, Mark belum menyiapkan jawaban jika Jeno melihat pertengkaran mereka dan bertanya 'kenapa?' padanya.
"EOMMA!"
Kim Doyoung―seseorang yang di serukan oleh Jeno itu menyahut di balik konter dapur. Senyum cantiknya terulas, menyambut Jeno yang berlari kearahnya. "Eoh, sudah pulang? Naik bis?"
"Tidak, aku di jemput hyung." Jeno menjawab sambil memeluk ibunya dengan manja. "Eomma, aku mendapat nilai sempurna untuk Bahasa inggris dan matematika." Anak itu bercerita, seperti tidak sabar dengan reaksi seperti apa yang akan di berikan oleh ibunya.
"Ooo―benarkah?"
Jeno mengangguk senang. Ia melepaskan diri dari sang ibu dan meraih tasnya untuk menunjukkan kertas yang berisi nilai yang di dapatnya hari ini.
Doyoung tertawa ringan, ia percaya kedua putranya itu adalah anak-anak yang pintar. Tanpa melihat kertas nilai pun, gurunya selalu menghubungi dan memberitahu nilai-nilai Jeno di sekolah. "Ah, ya ampun... kenapa jagoan-jagoan eomma hebat sekali, eh? Kalian selalu membuat eomma dan appa bangga."
Mark memperhatikan dari jauh, bagaimana senyum Jeno terkembang ketika tangan sang ibu mengusak rambut hitamnya. Ia tersenyum kecut, "Lalu, apa kalian juga bisa membuat kami bangga dengan tidak bertengkar?" Ia bergumam, hampir tanpa suara. Jujur saja, ia jengah ada di rumah.
Kalau bukan karena Jeno, mungkin ia sudah kabur dan memilih untuk tidur di rumah temannya malam ini. Karena ia tahu, pertengkaran mereka pasti akan berlanjut setelah ini.
Terlalu mudah untuk di tebak.
"Eomma, boleh aku meminta hadiahku?"
"Kau ingin apa memangnya?"
Pemilik wajah yang sama persis dengan Jung Jaehyun, ayahnya, melebarkan senyum. "Liburan ke luar negeri. Aku, Mark hyung, eomma, dan appa. Ya?"
Ibunya terdiam, untuk beberapa waktu masih memikirkan permintaan Jeno. Tapi kemudian, ia kembali mengukir senyum dan mengangguk. "Oke. Eomma akan bicara pada appa untuk liburan berempat. Kau senang?"
"Assa!"
"Sudah, sana. Cepat mandi dan kita makan malam. Kau pasti lapar."
Jeno pergi ke kamar, dan setelah Mark yakin jika pintu kamar telah tertutup rapat, ia melangkah pelan menghampiri Doyoung, berdiri tepat di hadapannya dan memandangnya dengan senyum getir.
"Mark―"
"Akting yang bagus, eomma." Katanya, serak. "Terimakasih untuk tidak bertengkar di depan Jeno, terimakasih juga untuk terlihat baik-baik saja di depan adikku."
Doyoung terdiam.
"Entah kalian bertengkar untuk alasan apa... entah kalian peduli pada perasaanku yang sudah lelah atau tidak... aku hanya minta, jangan sampai Jeno melihat kalian bertengkar."
Setelah berkata seperti itu, Mark melenggang pergi, menyusul Jeno ke kamar mereka. Meninggalkan Doyoung dengan kepala menunduk dan kedua tangan yang terkepal. Menangiskah? Mark tidak peduli.
.
.
.
Sudah hampir dini hari, tapi Mark tidak bisa untuk tidur.
Bagaimana mungkin ia tidur jika suara ayah dan ibunya yang bertengkar kembali terdengar di telinganya sejak tiga jam yang lalu?
Mark benar-benar tidak tahan! Ia akhirnya beranjak untuk duduk dan menyibak selimut, melihat pada tempat tidur lain yang ada disana dan mendesahkan nafas lega begitu tahu Jeno tertidur nyenyak dengan earphone yang menyumpal telinganya.
Mark yakin Jeno memutar musik lewat earphone yang terhubung ke iPod-nya, dengan begitu Mark bisa memastikan Jeno tidak akan mendengar suara ribut diluar kamar mereka.
Mark tidak mengerti apa yang ayah dan ibunya ributkan. Hanya saja, telinganya bisa mendengar sayup-sayup suara tegas ayahnya yang berkata, "Sekarang, pilih keluargamu atau kekasihmu? Jika kau memilih keluargamu, aku akan memaafkanmu dan kau tetap tinggal disini. Tapi, jika kau memilih kekasihmu, pergilah sekarang juga dari rumah ini!"
Kedua tangan Mark meremas selimut tebalnya, lalu menangis tanpa suara. Ia meminta maaf pada Jeno di dalam hati, karena tidak bisa menahan air mata untuk tidak keluar. Ia hanya berharap, ia tidak bersuara atau Jeno akan terbangun karenanya.
"Semua pilihan ada padamu, Kim Doyoung! Aku dan anak-anak, atau kekasihmu itu!"
Bahu Mark semakin bergetar, bibir bawahnya ia gigit sekuat tenaga. Air matanya semakin deras mengalir, merasa sakit hati dengan suara ayahnya.
Kini... ia tahu masalahnya. Ibunya berselingkuh di belakang ayahnya? Meskipun tidak yakin, tapi setengah dirinya mempercayai itu.
Ayahnya tidak akan berkata demikian tanpa alasan, kan?
Tanpa pernah Mark tahu, earphone di telinga Jeno tidak pernah memutar musik apapun. Sejak awal, itu hanyalah tipuan. Jeno tidak tidur, anak itu mendengar semua pertengkaran ibu dan ayahnya. Tapi, ia terlalu lelah untuk membuka mata hingga berakhir berpura-pura tidur agar tidak membuat kakaknya cemas.
Sekarang, keluarganya akan hancur? Bagaimana dengan liburan berempat yang telah ibunya janjikan?
Jeno tidak bodoh, ia tahu kakaknya tengah menangis sekarang. Tapi, kenapa sulit sekali rasanya untuk membuka mata dan menenangkan sosok yang lebih tua? Pikirnya, dengan diam seperti ini tidak akan menambah bebannya.
.
.
.
.
To be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
Home Sweet Home
Fanfiction[Special 1K Followers] Seharusnya, rumah adalah surga dunia. Tempat terbaik untuk pulang dan beristirahat, menghilangkan penat. Tapi, bagaimana jika kau menjadi seorang Mark Jung yang melihat pertengkaran orangtuanya di dalam rumah?