Home Sweet Home
.
.
.
Waktu itu menjelang malam.
Mark baru saja tiba di rumah. Setelah memarkir mobil di garasi, ia membawa kakinya melangkah menuju teras dan membuka pintu utama. Senyumannya terukir, membayangkan lelahnya hari ini akan hilang seiring dengan sambutan hangat dari ibunya, melihat senyuman ayahnya, dan juga makanan enak yang ada di meja makan.
Tapi, seketika dahinya berkerut dalam. Rasa lelahnya semakin menumpuk bersamaan dengan terdengarnya suara menyakitkan yang Mark tahu berasal dari kamar orangtuanya.
“Mereka bertengkar lagi? Huh?” Ia bergumam, bertanya pada dirinya sendiri.
Mark pikir, dengan pulang ke rumah setelah lelah beraktifitas diluar akan membuatnya menjadi lebih baik. Tapi kenyataannya, itu tidak seindah apa yang di bayangkan. Untuk kali ini, ia kembali mendengar perdebatan yang tidak di mengertinya antara ayah dan ibunya.
Meskipun wajahnya masih mengukir senyum sendu menatap lurus pada pintu kamar orangtuanya yang tertutup, tapi tidak bisa Mark pungkiri jika air matanya kini telah menggenang di pelupuk mata, semakin memberat setiap detiknya.
“Apa lagi yang jadi masalah? Kenapa kalian senang sekali bertengkar di depanku?”
Karena ini bukan pertama kalinya Mark mendengar mereka bertengkar. Sewaktu kecil, Mark pernah melihat bagaimana ayahnya yang menendang meja kaca hingga pecah ketika sedang bertengkar dengan ibunya. Mark juga pernah melihat bagaimana mata kiri ibunya lebam karena terkena tinju dari tangan kuat ayahnya.
Mark bahkan tahu ketika usianya enam tahun ibunya sempat pergi dari rumah dan baru kembali satu minggu kemudian.
Ia pikir, ia masih terlalu kecil untuk mengerti. Sehingga ia hanya diam tanpa memberontak ataupun menangis terlebih lagi merasa penasaran.
Tapi, ketika sekarang ia sudah kuliah dan adiknya telah tumbuh menjadi seorang remaja yang seharusnya di penuhi oleh kasih sayang utuh orangtuanya, mereka tetap saja selalu bertengkar untuk alasan yang tidak pernah ia mengerti.
“Jika kalian tidak memikirkan perasaankuku, setidaknya pikirkan Jeno sebelum kalian memilih ribut di rumah.”
Benar, adiknya adalah seseorang yang manja. Ia dekat sekali dengan sang ibu namun juga selalu menempeli ayahnya. Adiknya tidak pernah melihat mereka bertengkar. Hari ini, apa yang harus Mark lakukan jika saja Jeno pulang dan orangtua mereka masih ribut di balik pintu kamar?
Mark menghela nafasnya yang tiba-tiba memberat. Kedua matanya terpejam, mencoba menahan diri untuk tidak menangis. Pada saat itu, ponsel di saku celananya bergetar, menandakan ada satu pesan masuk.
From : Jeno
[Hyung, sedang dimana? Bisa menjemputku di tepat bimbingan belajar? Please ^^]Untuk sekarang, yang harus Mark lakukan adalah menjemput Jeno dan mengajaknya berkeliling meskipun sebentar. Setidaknya, jangan sampai Jeno pulang saat orangtua mereka masih ribut.
Ia membawa langkah kakinya keluar dari rumah, menutup pintu dengan sedikit membantingnya. Ia harap, ayah dan ibunya akan berhenti bertengkar lewat suara debumam pintu itu. kembali masuk ke dalam mobil dan membunyikan klakson tiga kali sebelum melesat untuk menjemput adiknya.
.
.
.
“Hyung, aku mendapatkan nilai sempurna untuk Bahasa inggris dan matematika.” Jeno berteriak senang sampai matanya menyipit manis. “Menurutmu, appa dan eomma akan memberiku hadiah?”
“Tentu saja.” Mark menjawab cepat, mencoba sebisa mungkin untuk terlihat baik-baik saja. Fokusnya memang pada kemudi, tapi pikirannya bercabang memikirkan banyak hal di kepalanya. “Mereka pasti akan senang dengan nilai yang kau dapatkan dalam ujian bayangan.”
Jeno mengangguk saja, namun senyumnya masih belum hilang. “Aku ingin kita pergi liburan ke… hmm… kemanapun, berempat!” Pandangan matanya menatap lurus ke depan, pada jalanan Seoul yang mulai di terangi lampu-lampu malam yang indah. “Appa, eomma, hyung, dan aku. California? Sydney? Swiss? Kemanapun itu… aku ingin kita pergi berlibur hanya berempat.”
Yang lebih tua tersenyum simpul. Berempat, kata Jeno. Bagaimana bisa ia tertawa senang mendengar kata itu sementara dirinya tahu bahwa sekarang orangtua mereka sedang bertengkar hebat di rumah. Tapi, demi menjaga perasaan adiknya, Mark menampilkan senyum lebar dan menjawab, “Eoh, kita akan pergi saat liburan sekolahmu. Bilang pada appa untuk menyiapkan empat tiket pesawat keluar negeri. Call?”
“CALL!”
Jeno tidak tahu apa-apa.
Yang harus Mark lakukan sekarang adalah menjaga adiknya agar tidak menangis dan bersedih―setidaknya, Mark harus memastikan bahwa Jeno tidak seperti dirinya di masa lalu, yang dengan polosnya menyaksikan pertengkaran hebat antara ayah dan ibunya.
.
.
.
To be continued.
[p.s : Mark is me ^^]
KAMU SEDANG MEMBACA
Home Sweet Home
Fanfiction[Special 1K Followers] Seharusnya, rumah adalah surga dunia. Tempat terbaik untuk pulang dan beristirahat, menghilangkan penat. Tapi, bagaimana jika kau menjadi seorang Mark Jung yang melihat pertengkaran orangtuanya di dalam rumah?