Home Sweet Home
.
.
.
Keesokan paginya, suasana seperti berubah seratus delapan puluh derajat.
Tidak ada sapaan selamat pagi dari ibunya, tidak ada sarapan lezat yang di masak ibunya di meja makan… yang ada hanya setangkup roti dan segelas susu di masing-masing tempat.
Hanya tiga.
Dahi Jeno berkerut. “Kenapa hanya tiga?” Tanyanya. Ia tetap menghitung tempat di meja makan yang harusnya ada empat. Tapi, tempat duduk ibunya tetap kosong seperti yang pertama kali ia lihat.
Kepalanya mendongak, menatap sengit pada sang ayah yang sedang membaca koran di kursinya. “Appa, kemana eomma? Kenapa tidak ada piring di meja makannya?”
Mark bisa mendengar nada getir di suara adiknya. Ia meringis, menduga satu kemungkinan yang bisa menjawab pertanyaan Jeno.
Suara koran yang tertutup membuat atensi kedua putra Jung Jaehyun itu teralihkan. Mereka menatap mata tegas ayahnya, meminta jawaban.
“Mulai sekarang, kalian berdua hanya akan hidup dengan appa. Tidak ada eomma, mengerti?”
“KENAPA?! Kemana eomma? Eomma tidak mungkin meninggalkan kita hanya karena orang lain, kan?”
Mark terkejut dengan penuturan Jeno. Anak itu… apakah ia semalam tidak tidur? Apakah earphone di telinganya tidak memutar musik apapun? Apakah Jeno mendengarnya? “Jeno―”
“Katakan, appa! Eomma tidak pergi, kan?”
“Kenyataannya, dia pergi semalam. Sudah tidak ada baju-bajunya lagi disini. Jadi, jangan harap kalian akan mendapatinya lagi di rumah ini karena Kim Doyoung sudah tidak peduli lagi pada kalian.”
Jeno menangis lirih. Kedua tangannya menggenggam erat tali ransel yang tersampir di bahunya. Siapa yang bisa menduga bahwa keluarganya akan menjadi seperti ini? Kemarin, ia masih melihat ibunya tersenyum dan menyambutnya pulang. Kemarin, ia juga masih mendapatkan janji untuk pergi berlibur hanya berempat. Dan pagi ini… semuanya hilang.
Mark terdiam. Ia pun tidak pernah menyangka jika ibunya… memilih untuk pergi. Bolehkah ia marah dan membenci orang yang telah melahirkannya itu? Bahkan ia tak memiliki cara untuk mengatasi hatinya yang sakit, untuk membuat Jeno tidak menangis lagi.
“Appa tahu kalian adalah anak yang kuat. Sekarang, kalian tahu sendiri alasan kenapa kami sering bertengkar. Pada akhirnya, ibu kalian lebih memilih orang lain di bandingkan kalian, anak-anaknya. Jangan sekali-kali kalian mencarinya atau appa akan marah.”
“Tapi, appa―”
“Lupakan dia. Dia tidak pantas menjadi seorang ibu.” Jaehyun masih berkata dengan tegas. “Bahkan induk ayam pun tidak pernah meninggalkan anak-anaknya. Tapi dia…”
Mark mengepalkan kedua tangan.
Sejak saat itu… ia membenci ibunya..
.
.
Satu bulan telah berlalu, dan Doyoung tidak pernah pulang sejak hari itu.
Mark berusaha untuk menghibur Jeno. Ia akan mengajak Jeno kemanapun anak itu inginkan. Yang di lakukannya hanya untuk membuat Jeno tidak bersedih dan fokus pada sekolahnya.
Jaehyun tetaplah orang yang sama. Ia akan bekerja di pagi hari dan pulang menjelang malam. Tidak pernah sekalipun Jaehyun membahas Doyoung di depan anak-anak. Ia hanya tidak ingin membuat kedua putranya terluka lebih dari ini.
Tapi, Mark tidak bisa diam saja. Ia memilih untuk bertanya pada akhirnya, “Kalian berpisah?”
Dengan tegas ayahnya menjawab, “Ya, kami telah berpisah.” Ungkapnya. “Appa tidak akan memberimu pilihan yang sulit, Mark. Kau sudah besar, kau sudah dewasa. Katakan saja kau ingin ikut dengan siapa, appa akan menerima keputusanmu.”
“Aku tidak mungkin hidup dengan seseorang yang sudah meninggalkanku demi orang lain, kan?” Mark tersenyum simpul. “Aku sakit hati… karena eomma ternyata tidak sebaik yang aku pikir.”
Jaehyun diam saja. “Jeno?”
“Aku yang akan bicara dengannya, appa. Meskipun Jeno sangat dekat dengan eomma, aku yakin dia juga tidak mau tinggal dengannya.”
Jaehyun mengangguk. Ia mengambil nafas panjang sebelum memulai cerita. “Appa mengatakan ini bukan untuk membuatmu benci pada ibumu. Tapi appa hanya ingin kau tahu kejadian yang sesungguhnya.”
Tubuh Mark bergetar, merasa belum siap untuk apa yang akan di katakan oleh ayahnya.
“Hari itu, appa memeriksa ponselnya dan mendapati pesan dari nomor tidak di kenal. Appa mencari tahu dan ternyata mereka berdua menjalin hubungan sejak lama. Appa sudah bersabar, tapi waktu itu appa benar-benar sudah tidak tahan lagi. Mereka sering bertemu di belakang appa… banyak sekali hal yang tidak bisa appa katakan padamu, tapi appa tahu kau pasti mengerti.”
Mark terdiam.
“Seperti yang appa bilang, kau sudah dewasa, Mark. Kau tahu apa yang terbaik untuk dirimu sendiri. Tetap dengan appa, atau mencari eomma.”
.
.
.
.
Kenyataannya, sampai hampir dua tahun berlalu pun, Doyoung tidak pernah kembali. Meskipun Jeno masih sering melakukan kontak dengan ibunya, tapi tidak untuk Mark.
Dia… yang sudah di suguhi pertengkaran orangtuanya sejak kecil, menyaksikan kekerasan yang terjadi di antara mereka, bahkan hingga akhirnya memilih berpisah pun… tidak mampu berkata apa-apa selain perasaan benci yang terkadang membuatnya menangis sendirian.
Orang-orang berkata, “Dia ibumu, Mark. Yang sudah melahirkan dan membesarkanmu. Kau tidak harus membencinya sampai tidak mau menemuinya lagi.”
“Kalian tidak tahu apa yang aku rasakan!” Mark berteriak dalam hati. Karena sungguh, dirinya pun bingung bagaimana menghadapi situasinya.
Tentang Jeno… tidak ada yang tahu bagaimana perasaannya. Yang jelas, Mark melihat adiknya itu telah berubah menjadi lebih tertutup.
Seperti itu saja kehidupan antara Jaehyun dan Doyoung, berpisah setelah Mark dan Jeno tumbuh menjadi para remaja tampan.
Sekarang Mark merasa bahwa rumah bukanlah tempat terbaik untuk pulang.
.
.
.
.
.
Fin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Home Sweet Home
Fanfiction[Special 1K Followers] Seharusnya, rumah adalah surga dunia. Tempat terbaik untuk pulang dan beristirahat, menghilangkan penat. Tapi, bagaimana jika kau menjadi seorang Mark Jung yang melihat pertengkaran orangtuanya di dalam rumah?