Nama gue Shafiqa, biasa dipanggil Fiqa. Umur? Umur berapa ya gue? 17, 19, nah umur gue 22 tahun. Gue anak tengah dari tiga bersaudara. Kakak dan adek gue cowok semua, Evan dan Anggara. So, dapat dipastikan jika gue adalah perempuan paling cantik di rumah. Tentunya predikat itu gue dapetin setelah mama meninggal, karena mama adalah the best woman in my world. Mama punya segalanya, brain, beauty, and behaviour. Yah jadi melow deh :v
Gue bukan perfect girl, seperti di dongeng-dongeng pengantar tidur. Gue merasa nggak pantas saja menganggap diri gue sempurna. Gue hanya merasa beruntung menjadi seorang Shafiqa Alkamora Mahveen. Pekerjaan yang mapan, papa yang baik, saudara yang penyayang, dan banyak keindahan-keindahan dunia lainnya yang sudah gue raih. Namun satu yang belum sepenuhnya gue punya, istiqomah. Satu kata itu sulit banget menempel di kepala gue.
Gue masih sering menunda-nunda shalat, masih mudah juga terpengaruh bujuk rayu setan lainnya. Gue rasa timbangan kebaikan gue masih minim banget. Gue nggak tau akan lari kemana jika tiba saatnya gue menjadi orang yang paling depan dalam antrian panjang menuju gerbang akhirat.
Memikirkan hal itu membuat gue mulai mempertimbangkan saran kakak ipar gue-Mbak Erica untuk hijrah. Melalui bidadari surga Mas Evan itu gue sedikit demi sedikit menemukan cahaya ketenangan dalam hidup. Setelah sekian lama berpikir, akhirnya hari ini gue putuskan untuk menutup hal yang sudah seharusnya gue lakukan sejak dulu. Yaitu menutup aurat gue, semoga dengan ini Allah memberikan gue istiqamah dan semakin semangat untuk menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat gue.
Bismillah...
***
"Mowning!," sapa Fiqa di ruang makan. Pagi itu semuanya sudah berada di tempatnya, kecuali Fiqa yang memang sedikit terlambat karena masih malu untuk keluar kamar. Padahal sedari tadi kerjaannya hanya menatap dirinya di cermin yang memantulkan gambar diri dengan gamis hijau toska dan jilbab merah muda. Pemandangan yang 360° berbeda dari hari-hari sebelumnya. Hal itu tentunya juga membuat seluruh anggota keluarganya terheran-heran. Terutama Anggara, mulut adiknya itu sudah terbuka layaknya goa.
"Angga, mulutnya biasa aja dong," kata Fiqa sembari menggeplak dagu adiknya itu. Angga pun mengaduh sakit atas tindakan kakak perempuannya yang sering ia juluki singa betina.
"Punya mbak satu, nggak ada manis-manisnya sama sekali," gerutu Angga.
Sedangkan Papa Mahda, Evan, dan Erica masih menatap Fiqa dengan terkesima meskipun sikap jahil gadis itu kembali muncul. Menanggapi tatapan mereka, Fiqa pun tersenyum malu.
"Fiqa cantik nggak, Pa?" tanya Fiqa.
"Cantik, putri papa kan memang selalu cantik," ucap Papa Mahda.
"Oow, jadi pengen peluk papa," ucap Fiqa kemudian memeluk papanya itu dengan hangat.
"Kamu memang cantik dek, tapi di mataku masih cantikan Erica," canda Evan kemudian memeluk istrinya sebagaimana Fiqa memeluk papanya tadi.
"Halah, bilang aja Mas Evan pengen niruin Mbak Fiqa," gerutu Anggara lagi. Remaja dengan wajah yang tak kalah rupawan dari kedua saudaranya itu pun melengak-lengokkan kepalanya. Tampaknya dia sedang mencari seseorang.
"Mbok Rumi, mbok mau nggak aku peluk?!" pekiknya kemudian.
***
~Happy Reading~
maaf kalo masih ada typo, bantu koreksi yaa teman2
KAMU SEDANG MEMBACA
ASSALAMU'ALAIKUM, MANTAN (The Boy Next Door)
Spiritualité#4 dalam Tentara [22/02/2019] Pengalaman pahit di masa lalu harus dijadikan kaca pengingat untuk tidak melakukan kesalahan yang sama di masa depan. Agar ketika di kemudian hari bertemu dengan hal yang serupa, kaca itu mampu memantulkan kilasan kisah...