"Ini data-data yang bos mau tentang perempuan itu," Seseorang berkepala botak dengan jaket kulit berwarna hitam menyerahkan sebuah amplop cokelat kepada Rafly.
Rafly tersenyum miring. Pria bernama lengkap Rafly Keisar Devano ini seorang CEO di perusahaan ternama milik Ayahnya. Berwatak keras kepala, kasar, dan apapun yang diinginkan harus ia dapatkan.
"Bagus. Kamu boleh pergi,"
Beberapa lembar foto dan kertas-kertas itu berserakan di atas meja kerjanya. Ditelitinya satu persatu data-data yang diberikan oleh anak buah kepercayaannya.
"Cantik sih, tapi menyebalkan." Gumam Rafly.
Asyik mengamati semua data yang di terimanya, Rafly tak sadar bahwa seorang laki-laki paruh baya dengan stelan kantor rapi memasuki ruangannya.
Dengan satu kali laki-laki itu berdehem, Rafly tersadar dan terkejut. Sesegera mungkin ia merapikan benda-benda itu dan menyimpannya di dalam laci.
"Rafly kaget--Papa tiba-tiba ada di sini."
"Kenapa?" Laki-laki yang dipanggil Papa oleh Rafly mengangkat kedua alisnya. "Papa nggak boleh ke sini?"
"B-boleh."
"Gimana sama kata-kata Papa kemarin? Kamu sudah punya calon?" Tanya Alvin Keisar Dewanto, Papa dari Rafly.
Rafly melebarkan matanya kaget. "Papa serius? Papa baru ngomong kemarin loh, masa aku udah punya calon aja sih?"
"Rafly, Papa sudah beri kamu kebebasan untuk memilih calon istri. Ingat umur Rafly, Papa sama Mama kamu sudah semakin tua. Adikmu aja sudah menikah, kamu kapan? Malu sama jenggot." Nah, sudah bisa Rafly tebak bahwa Papanya akan memberi ceramah seperti ini lagi.
"Pa ... nyari calon istri tu nggak kayak nangkep laler, Susah."
"Kamu kan kayak bangke, yang selalu di kerubutin sama laler. Emang dasar kamu aja yang banyak pilih,"
Kata-kata Papa sangat melukai hati Rafly. Sungguh. Itu menyakitkan.
"Ya iyalah Rafly banyak milih. Cari calon istri itu harus selektif, harus sesuai dengan tipenya Rafly." Sungut Rafly sambil menopang kepalanya di atas meja dengan tangan.
"Aduh ... Papa pusing sama kamu ni. Udah gini aja, Papa kasih waktu dua minggu untuk cari calon istri. Kenalkan ke Mama sama Papa, dan perusahaan ini jadi milik kamu. Kalau lewat dari dua minggu kamu belum memperkenalkan satu wanita ke Papa, perusahaan ini jatuh ke tangan adik kamu." Perkataan halus mengandung ancaman itu sukses membuat Rafly membelalakkan mata.
Rafly menghela nafasnya jengah. "Dua minggu? Papa ni nyuruh Rafly cari istri kayak nyuruh Rafly beli baju bekas,"
"Terserah. Yang Papa tahu, sebelum dua minggu kamu harus sudah dapat calon istri."
Alvin meninggalkan Rafly di ruangannya sendiri dengan wajah cengo. Apa Papanya sedang bercanda? Ini gila! Siapa yang harus Rafly bawa ke rumah? Masa dia harus bawa Eren, cewek agresif dan super posesif yang selalu mengejar Rafly. Sumpah demi apa, Eren bukan tipe istri yang baik.
"Gue harus bawa siapa coba? Masa Eren sih? Baru dua hari nikah auto bangkrut gue." Rafly memijit kepalanya yang terasa pening.
****
Jam menunjukkan pukul 5 sore. Hani telah menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Dia mengemasi barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam tas.
Keluar dari kantor, Hani berniat mengambil kunci mobilnya di dalam tas, namun setelah di cari-carinya ternyata benda itu tidak berada di dalam tasnya.
"Aduh ... kunci mobil aku mana?" Kata Hani dengan cemas.
Hani terus mencari keberadaan benda tersebut di dalam tas dan saku bajunya, dan akhirnya Hani merasa ada satu tepukan di bahunya, seketika ia menoleh.
"Pak Deni?"
Pak Deni; Bos Hani di kantor yang suka memanggil Hani ke ruangannya. Seperti yang dikatakan Shely.
"Kamu cari ini?" Pria itu menunjukkan sebuah kunci mobil berwarna hitam.
"Iya, Pak. Alhamdulillah ketemu! Terima kasih ya Pak," sahut Hani girang.
"Bapak ketemu kunci mobil saya dimana?" Tanya Hani heran.
"Di dekat lift, tadi kunci mobil kamu jatuh."
Hani menghela nafasnya lega, "Sekali lagi terima kasih Pak. Saya permisi dulu."
Hani memasuki mobilnya dan menjalankannya dengan kecepatan rata-rata.
Kruukkk...
"Laper banget lagi.. cepat-cepat pulang deh," gumam Hani sambil menambah laju mobilnya.
Hari ini baru jam 5 sore dan banyak sekali restoran cepat saji yang buka. Namun dia memilih untuk segera pulang, karena senikmat apapun masakan restoran, masakan Ibu jauh lebih nikmat terasa, membayangkannya saja sudah membuat Hani kelaparan. Yang ada di pikirannya sekarang adalah telur balado dengan nasi hangat serta sayur bayam kesukaannya.
Jangan ngiler!
Setibanya di rumah, Hani langsung membuka pintu. "Assalamualaikum, Bu."
"Wa'alaikumsalam. Ibu di dapur, Nak," sahut seseorang dari dalam rumah.
Hani segera masuk ke kamarnya untuk mandi dan berganti pakaian. Aroma masakan sang Ibu benar-benar membuatnya ingin segera menghampiri meja makan.
Setelah 15 menit menghabiskan waktu untuk membersihkan diri, Hani bergegas menghampiri Ibunya di meja makan.
Rani yang tak lain adalah Ibu Hani terlihat sedang menyendokkan nasi ke dalam piring kemudian meletakkannya di depan Hani.
"Makasih, Bu."
"Hani,"
Hani mengangkat kepalanya dan hanya bergumam menyahuti panggilan Rani karena mulutnya sedang mengunyah makanan.
"Lusa kamu ulang tahun yang ke 26 kan?" Tanya Rani halus.
"Iya, kenapa Bu?"
"Usiamu udah mateng loh, kamu nggak mau nikah apa? Ibu kepengen nimang cucu,"
Mendengar ucapan Ibunya, Hani mendadak terbatuk-batuk, makanan yang belum sempat ia kunyah dengan sempurna masuk ke dalam tenggorokannya.
Hani mengambil Air di dekatnya dan meneguk air itu untuk meredakan batuknya.
"Maaf Ibu bikin kamu kaget ya?" Rani memandang anaknya cemas.
"Enggak apa-apa, Bu." Hani nyengir terpaksa.
"Gimana?"
"Hani belum ada plan ke sana Bu. Belum nemu orang yang tepat." Kata Hani.
Rani mendesah pelan. "Ibu itu ingin sekali nimang cucu dari kamu. Kalau Ibu punya cucu, Ibu jadi nggak kesepian saat kamu nggak ada di rumah dan Ibu bisa ngelupain kesedihan karena Ayahmu udah gak ada."
"Ibu sabar ya, Insyaallah Hani akan segera punya suami dan kasih cucu buat Ibu. Doain aja Bu, kalau Allah berkehendak pasti terjadi."
Rani tersenyum mendengar kata-kata Hani. Bagi Rani, Hani adalah malaikat penenangnya. Putri kecilnya yang dulu sangat manja kini sudah dewasa.
Sampai disini dulu ya gengs😂 dudu😚