Mereka bilang aku bahagia

113 9 2
                                    

--Distya

Setidaknya itu kata-kata yang sering kudapatkan dari orang-orang sekitarku hampir setiap waktu. Bahwa aku bahagia, atau tepatnya seharusnya bahagia.

"Dis, kamu kan enak pintar, nggak pernah ngerasain remedial."

"Dis, kamu kan orang kaya, setiap hari bisa ganti-ganti hape baru."

"Mau deh aku punya keluarga kayak kamu, mama papa kamu keren."

"Ah, kalau aku cantik kayak kamu Dis, aku nggak perlu dandan setiap hari."

"Banyak cowok yang mau sama kamu, iri deh."

"Kamu bukannya bersyukur nggak pernah dikasih kesulitan seperti yang aku jalanin."

Mereka juga bilang aku bahagia karena aku selalu tertawa di hadapan mereka. Tetapi apakah parameter bahagia tidaknya seseorang hanya bisa ditentukan dari hal-hal yang terlihat dari luar seperti kesempurnaan dan gelak tawa?

Aku duduk dengan dagu kutopang dengan telapak tangan. Di telingaku tersumpal earphone yang sengaja kupasangi lagu favoritku, The Moldau karya komposer Bedřich Smetana. Tatapan mataku kosong, sedang pikiranku bergelut.

Apa itu bahagia?

Sebuah pertanyaan simpel yang entah mengapa sepertinya bisa membuat otakku keropos karena berpikir terlalu keras. Lihat, aku bisa merasakan panas di sekitar kepalaku, mungkin saja energi listrik dari impuls saraf otakku bisa bertransformasi menjadi energi panas dan menguap begitu saja.

Seberapa keras aku berpikir, aku masih belum bisa menemukan jawabannya. Menurut mereka aku bahagia dengan kesempurnaan yang ada. Tetapi entahlah sesuatu terasa berlubang, apalagi ketika mereka melontarkan kata-kata keluhan berkedok pujian yang terbang seakan ingin menamparku, langitku gelap saat itu.

Maksudku, seseorang tidak bisa memilih dilahirkan seperti apa bukan? Lantas label bahagia atas hal-hal yang bukan menjadi pilihanku sejak lahir itu dapat darimana? Aku berdengus kesal.

Mereka bilang aku bahagia,

Mereka tidak tahu aku ingin mati saja.

Mereka BilangWhere stories live. Discover now